Amar ma'ruf Nahi mungkar

BAB
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Firman Allah:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, setengahnya menjadi penolong bagi setengahnya yang lain; mereka menyuruh berbuat kebaikan dan melarang daripada berbuat kejahatan dan mereka mendirikan sembahyang dan memberi zakat, serta taat kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.” (at-Taubah: 71)
Dalam Al-Qur'an dijumpai lafaz "amar ma'ruf nahi munkar" beberapa kali seperti dalam surah Ali Imran ayat 104: “Dan hendaklah ada di antara kamu satu puak yang menyeru (berdakwah) kepada kebajikan (mengembangkan Islam) dan menyuruh berbuat segala perkara yang baik, serta melarang daripada segala yang salah (buruk dan keji) dan mereka yang bersifat demikian ialah orang-orang yang berjaya.”

B. Rumusan masalah
AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR DALAM TINJAUAN PENDIDIKAN

C. Tujuan
Supaya kita semua bisa lebih mudah dalam menjalani hidup ini dan bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk.



BAB II
PEMBAHASAN

AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR DALAM TINJAUAN PENDIDIKAN

ادع الى سبيل ربك با الحكمة والموعظة الحسنة وجدلهم با التي هى احسن ان ربك هو اعلم بمن ظل عن سبيله وهو اعلم با المهتدين.
Serulah (manusia) kejalan tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalannya dan dialah yang mengetahui bagi orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. al-Nahl, 16:125).
Potongan ayat yang berbunyi: ادع الى سبيل ربك........
Maksudnya adalah serulah ummatmu wahai para Rasul dengan seruan agar mereka melaksanakan syari’at yang telah ditetapkan berdasarkan wahyu yang diturunkan, dengan melalui ibarat dan nasehat yang terdapat di dalam kitab yang diturunkannya. Dan hadapilah meraka dengan cara yang lebih baik dari lainnya sekalipun mereka menyakitimu, dan sadarkanlah mereka dengan cara yang baik.
Selanjutnya potongan ayat:   ان ربك هو اعلم بمن ظل عن سبيله
Maksudnya adalah bahwa ssungguhnya tuhamu wahai para rasul adalah lebih mengetahui dengan apa yang berjalan dan diperselisihkan , dan juga lebih mengetahui cara yang hars ditempuh sesuai yang hak.
Ringkasanya ayat tersebut menyuruh agar Rasulullah  menempuh cara berdakwah dan berdiskusi dengan cara yang baik. Sedangkan petunjuk ( al-Hidayah) dan kesesatan (al-dalalah) serta hal-hal yang terjadi diantar keduanya sepenuhnya dikembalikan kepada Allah SWT, karena dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang tidak dapat terpelihara dirinya dari kesesatan, dan mengembalikan dirinya kepada petunjuk.[1]
ولتكن منكم امة يدعون الي الخير ويأمرون با لمعرف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون
Dan hndaklah ada diatara kamu segolongan ummat yang menyuru kepada kebajikan, menyuruh pada yang ma’ruf daan mencegah pada yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali ‘mran, 3:104).
Maksud dari ayat tersebut adalah kehedaknya terdapat suatu golongan yang memilih tugas  menegakkan dakwah, memerintahkan kebaikan ddan mencegah keburukan. Sasara perintah ayat ini adalah seluh orang mukmin yang mukallaf,  yaitu hendaknya menyiapkan suatu kelompok yang akan melaksaakan perintah ini. Hal yang demikian didasarka pada pandangan bahwa pada setiap orang terdapat  kehendak dan aktivitas di dalam melaksanakan tugas tersebut, dan mendekatkan caranya dengan penuh ketaatan, sehingga jika mereka melihat kesalahan segera mereka kembali kejala yang benar. Orang-orang islam generasi pertama eleksanakan tugas tersebut dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dengan meleksanakan kegiatan sosial pada umumnya. Mereka telah berkhutbah diatas mimbar mereka berkata, jika engkau melihat orang yang menyimpang, maka segera meluruskannya.
Namun demikian, pada setiap orang yang melakukan tugas tersebut agar memiliki syarat-syarat sehingga ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan menjadi contoh teladan ( amal shalih ) yang menyebabkan mereka di dikuti dan diteladani ilmu dan amalnya. Syarat-syarat tersebut adalah:
Pertama, orang tersebut mengetahui kandunga Al-Qur’an dan Al-Sunnah, riwayat hidup Nabi Muhammad SAW, da para khulafaul Rasyidun.
Kedua, mengetahui keadaan orang yang menjadi sasaran dakwah, kesiapan mereka untuk menerima dakwah, serta akhlakya. Tegasnya mengetahui keadan masyarakat.
Ketiga, megetahui agama dan mazhab yang dianut oleh masyarakat. Dengan cara demikian dapat diketahui denga mudah hal-hal yag bathil. Hal yang demikian didasarka pada pandangan bahwa manusia, sekalipun tidak dapat padanya kesesatan, tidak berarti ia akan berpaling pada kebenara yang disampaikan kepada yang lainnya.
Ringkasnya dapat dikatakan bahwa kegiatan dakwah tidak dapat dilaksanakan kecuali oleh kelompok tertentu (khawas al-Ummah), yaitu orang-orang yang megetahui rahasia dan hikmah hukum serta memahaminya. Dan itulah yang dimaksud dengan ayat yang berbunyi:
وما كان المؤمنون لينفروا كافة فلو لانفر من كل فرقة منهم طا ئفة ليتفقهوا في الدين ولينذروا قومهم اذا رخعوا أليهم لعلهم يحذرون.
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka ke berapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama da untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya. (Q.S. al-Taubah, 9:122).
Orang-orang yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah orang-orang yang dapat menegakkan hukum Allah untuk kemaslahatan hamba pada setiap zaman dan tempat berdasarkan pada pengetahuan meereka pada mesjid-mesjid, tempat ibadah serta hal-hal yang dianggap menguntungkan masyarakat umum. Jika mereka melakukan semua itu, maka terciptalah kebaika pada ummat dan akan jarang terjadi akan keburukan , akan lembut hatinya, sehingga mereka saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran, serta berbahagia kehidupan dunia dan akhirat. Mereka itu seperti dituliskan dalam ayat:
كنتم خيرا امة اخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون باالله ولو امن اهل الكتب لكان خيرا الهم منهم المؤمنون واكثرهم الفسقون.
Kamu aadalah ummat yang terbaik ang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf da mencegah kepada yang mungkar,  dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka,diantara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. Ali Imran , 3:110).
Maksudnya adalah bahwa kamu sekalian adalah ummat yang terbaik dalam keadaan wujud sekarang,  karena mereka telah memerintahkan yang baik dan mencegah perbuatan buruk, memeliki keimanan yang benaryang bekasnya tampak pada dirinya, sehingga mereka menjauhi keburukan dan mendorong berbuat kebaikan. Sedangkan yang telah di kalahkan oleh keburukan dan kerusakan, sehingga mereka tidak dapat menyuruh kebaikan, tidak mencegah kemungkaran dan tidak memiki keimanan yang benar.
Itulah orang-orang yang termasuk katagori orang yang baik yang telah di perintahkan untuk berdakwah. Mereka itu adalah para nabi dan sahabat yang menyertainya pada saat ayat tersebut diturunkan.meraka itulah orang-orang yang semula saling bermusuhan  kemudian menyatu hatinya, berpegang pada tali allah, mereka kebaikan dan mencegah kemungkarang, tidak takut karna kelemahannya terhadap yang kuat, tidak hilang keberaniannya karena kekecilannya terhadap yang benar, sementara keimanan telah menguasai dirinya dan perasaan.[2]
Kekokohan iman yang telah mereka miliki itu dituliskan pada ayat yang berbunyi:
انما المومنون الذي امنو باالله ورسوله ثم لم يرتابوا وجهدوا بااموالهم وانفسهم في سبيل الله اولئك هم الصدقون.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orag yang beriman kepada Allah dan Rasulnya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihat dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orag-orang yang benar. (Q.S. al-Hujarat, 49:15).
Diantar merka itu ada yang berpegang teguh kepada kebenaran, menegakkan keadilan, tidak berbuat zalim kepada orang lain, tidak menyalahi perintah agama, membaca ayat-ayat Al-Qur’an  dan bersujud dengan tahajud di tengah malam hari. Mereka juga berian kepada Allah, memerintahkan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Berdasarkan uraian ayat tersebut, maka yang dapat melakukan amar ma’ruf  nahi mungkar bukan hanya dari kalangan ummat islam, melainkan dari kalangan lain-pun bisa melakukannya.
Kembali kepada masalah pokok diatas, yaitu tentag amar ma’ruf nahi mungkar. Menurut al-Maraghi yang dimaksud dengan amar ma’ruf nahi munkar adalah ma istahsanahu al-syara’ wa al-Aql ( sesuatu yang dipandang baik menurut agama dan akal). Sedagkan yang al-mungkar adalah dliddhuhu (lawan atau kebaiakan dari yang ma’ruf).[3] Selanjutnya dalam mu’jam mufradat al-fhat al-Qur;an, yang dimaksud dengan al-ma’ruf adalah nama bagi setiap perbuatan yang diakui mengandung kebaikan menurut pandangan akal dan agama. Seangkan al-mungkar adalah sesuatu yang ditentang oleh akal dan agama.[4] Dalam pada itu Muhammad Abduh mengatakan “amar ma’ruf nahi mungkar merupakan benteng pemelihara ummat dan pangkal timbulnya persatauan”.[5]
Dalam pada itu Abdul ‘Ala al-Maududi berpendapat bahwa kata  ma’ruf yang jama’nya ma’rufat adalah nama nama untuk segala kebajika atau sifat-sifat baik yang sepanjang masa telah diterima dengan baikoleh hati nurani manusia.[6] Dengan mengikuti pendapat yang terakhir ini dapat diketahui bahwa amar ma’ruf dapat diartikan sebagai setiap usaha mendorong dan menggerakkan ummat manusia  untuk menerima dan melaksanakan hal-hal yang sepanjang masa telah diterima sebagai suatu kebaikan bedasarkan penilaian hati nurani manusia, dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berbeda dengan pendapat yang dikemukakan para pakar tedahulu yang menilai bahwa amar ma’ruf  bukan hanya dinilai baik berdasarkan hati nurani, melainkan bedasarkan pula pada syari’at atau wahyu.
Sementara itu pula yang berpendapat bahwa kebaikan yang terdapat pada kata al-Ma’ruf adalah kebaikan yang didasarkan pada nilai agama semata-mata. Pendapat seperti ini biasanya dapat di jumpai pada pendapat As-Syahid Abdul Kadir ‘Audah yang mengatakan bahwa amar ma’ruf  adalah menggerakkan orang sehingga menarik untuk melakukan segala apa yang sewajarnya harus dikatakan atau dilakukan yang cocok dengan nash-nash syari’at islam.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang termasuk kategori al-ma’ruf  adalah segala sesuatu dalam bentuk ucapan, perbuatan, pemikiran dan sebagainya yang dipandang baik menurut syari’at (agama) dan akal pikiran, atau yang dianggap baik menurut akal namun sejalan atau tidak bertentangan dengan syari’at. Dengan demikian kebebasan akal dalam menentukan dan menilai suatu kebaikan dibatasi oleh ketentuan agama. Oleh Karena boleh jadi karena sesuatu yanfg menurut akal baik tapi menurut syari’at buruk. Dan jika terjadi kejadian yang menurut akal baik dan menurut syari’at ini buruk, maka pendapat pendapat akal harus dicegah. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya hidup nareng sebelum menikah (samenleven) atau kumpul kebo yang didasarkan atas suka sama suka menurut akal adalah baik, sedangkan menurut agama tidak baik. Orang-orang barat yang hanya berpatokan pada pendapat akal saja misalnya membolehkan adanya kumpul kebo tersebut.
Adapun nabiy munkarmengandung pengertian hal-hal yang munkar, yang menurut al-Maududi adalah nama untuk segala dosa dan kejahatan-kelahatan yang sepanjang masa telah dikutuk oleh watak manusia sebagai jahat.[7]
Sebagai halnya yang ma’ruf  yang munkar pun banyak macamnya yang meliputi kejahatan dalam bidang sosial, pendidikan, ekonomi, kebudayaan politik dan sebagainya, seperti memperbodoh, menyengsarakan dan menganiaya masyarakat, berbuat curang, berzina, korupsi,manipulasi, memfitnah, memusuhi, menindas, menjatuhkan nama baik, menyudutkan, memalsukan, dusta dan lain sebagainya.
Selanjutnya dikalangan para ahli tafsir pada khususnya dan para pakar dakwah pada umumnya kerap kali menghubungkan amar ma’ruf nabiy munkar dengan kegiatan dakwah,sebagaimana telah diuraikan diatas. Bahkan lebih khusus lagi amar ma’ruf nabiy munkar ini digunakan sebagai dasar bagi perumusan pengertian dan tujuan dakwah islamiyah. Syeikh Ali Mahfudz, sebagaimana dikutip oleh ANWAR Mansyari misalnya mengatakan bahwa definisi dakwah adalah bats al-nas ‘ala al-kahir wa al-buda wa al-amr bi al-ma’ruf wa al-nabiy ‘an al-munkar li yafudzu bi sa’adab al-‘ajil wa al-ajal (dakwah adalah menyeru, mengajak atau mendorong manusia dengan kuat agar berpedoman kepeda kebaikan dan petunjuk tuhan, menyuruh kepada kebaikan  dan mencegah kemungkaran agar mereka memperoleh kebahahian hidup dunia dan akhirat.[8]
Dengan demikian, kegiatan dakwah pada intinya menggerakkan orang lain agar tertarik melakukan hal-hal yang ma’ruf dan menjuhi yang munkar. Hal-hal yang ma’ruf itu mencakup segi-segi yang amat luas. Ia meliputi tingkah laku yang oleh manusia dan syari’at dinilai baik sepanjang masa. Baik tingkah laku itu dilakukan oleh perseorangan atau kolektif masyarakat secara keseluruhannya. Hal-hal yang baik seperti kedilan,keberanian, kepahlawanan, kejujuran, ketaatan, persaudaran, kasih sayang ,kesabaran dan hal-hal yang terpuji lainnya yang sewajarnya dimiliki oleh manusia sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT.
Demikian pula hal-hal yang baik juga mencakup usaha-usaha perawatan orang tua, penyantunan terhadap[ orang miskin,perawatan terhadap anak yatim, orang jompo, pemeliharaan kesehatan masyarakat. Termaksud pula hal-hal yang baik itu usaha memeliharakan dan meluaskan lapangan kerja, usaha meningkatakan penghasilan masyarakat, usaha memperbaiki sarana-sarana yang diperlukan untuk kecerdasan dan pengetahuan masyarakat, memeprsioapkan dan memeberi perbekalan kepada anak-anak dengan ilmu, kecakapan dan sifat-sifat yang baik, juga usaha mengadakan dan memelihara sarana yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pembentukan akhlak dan peningkatan kecerdasan masyarakat. Amar ma’ruf termaksud pula usaha-usaha menciptakan ketenangan, perdamaian tidak saling mengganggu serat usaha-usaha menciptakan situasi yang favourable bagi tumbuh dan berkembangnya hal yang baik itu.
Dengan demikian bahwa kegiatan dakwah dalam konteks amar ma’ruf mencakup segenap aspek kehidupan masyarakat, baik dalam bidang sosial, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, politik dan segainya. Seluruh bidang kehidupan itu harus ditumbuhkan dan dibangun untuk kepentingan serta kesejahteraan ummat manusia.
Selain itu kegiatan dakwah harus di dibarengi dengan usaha-usaha memusnahkan hal-hal yang munkarat sebagaimana di sebutkan diatas. Usaha dakwah dalam bdang ma’rufah yakni menyuruh orang lain dalam melakukan kebaiakan jauh lebih ringan resiko dan bahanya dibandingkan dengan usaha dakwah dalam mencegah yang munkarat, karena kemungkaratan disertai hawa nafsu dan bujukan syaitan, sedangkan ma’rufatdidasarkan pada agama dan akal sehat. Tidak semua orang mampu mencegah kemungkaran. Kemam[puan orang dalam mencegah kemungkaran ini bertingkat-tingkat. Untuk itulah Nabi Muhammad SAW mengingatkan dalam haditsnya; man ra’a minkum al-munkarat fa al-yughbayyir biyadihi,wa man lam yastati’ fa bi lisanihi, wa man lam yastati’ fa bi qalbihi wa zalika ad’af al-iman (barang siapa yang menyaksikan kemungkaran maka cegahlah dengan tanganmu, jika kamu tidak sanggup dengan tangan, maka lakukanlah dengan lidahmu, maka apabila tidak sanggup dengan lidahmu,maka lakukanlah denagn hati(doa) namun demikian itu (dengan hati/doa) termaksud iman yang lemah.
Perintah menegakkan yang makruf dan mencegah yang munkar yang merupakan agenda utama kegiatan dakwah itu harus ada yang melkukannya didalam masyarakat. Ayat 104 dalam surat Ali Imran sebagaiman telah diuraikan diatas adalah menunjukkan sebagai kewajiban berdakwah atas semua manusia, baik secara fardu kifayah maupun fardu ‘ain. Demikian pula menurut dai dan kemampuan serat hal-hal apa saja yang didakwahkannya. Terkadang kemampun dai itu hanya disekitar masalah-masalah pokok dan tidaak mengetahui hukum-hukum islam. Oleh karena itu, Abu zahrah berpendapat agar setiap kaum mengetahui apa yang di perintahkandan apa yang dilarang Allah, kemudian manusia mengikutinya (menjalankannya apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilaranag Allah itu).
Oleh karena itu perlu dipahami dan diperhatikan empat tingkatan kemungkaran dalam bernahi mungkar berikut ini:
1.      Hilangnya kemungkaran secara total dan digantikan oleh kebaikan.
2.      Berkurangnya kemungkaran, sekalipun tidak tuntas secara keseluruhan.
3.      Digantikan oleh kemungkaran yang serupa.
4.      Digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar.
Pada tingkatan pertama dan kedua disyari’atkan untuk bernahi mungkar, tingkatan ketiga butuh ijtihad, sedangkan yang keempat terlarang dan haram melakukannya. (Lihat, ibid, dan Syarh Arba’in Nawawiyah, Syaikh Al Utsaimin, hal: 255).
Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar kerana ia merupakan pengukur keimanan seseorang, faktor penentu ciri umat yang terbaik dan penjamin kepada kesejahteraan umat keseluruhannya. Melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar  merupakan tanggung jawab semua orang beriman mengikut kadar kemampuan masing-masing.
Melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan ukuran keimanan seseorang, orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, setengahnya menjadi penolong bagi setengahnya yang lain, mereka menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar, dan mereka mendirikan sembahyang dan memberi zakat, serta taat kepada Allah dan RasulNya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. [al-Taubah 9:71].
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
Sesiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran,  hendaklah dia mengubahnya (mencegah dan menghentikannya) dengan tangannya. Jika dia tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya. Jika dia masih tidak mampu (maka ubahlah) dengan hatinya (dengan membencinya), yang sedemikian adalah selemah-lemah iman.[9]
Tentang agama dan untuk ,memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka dapat mejaga diri
Abu zahrah lebih lanjut menjelaskan bahwa makna ayat itu menunjukan bahwa min di situ mejelaskan perintah yang menyaru supaya umat manusia mejadi dai sebagaimana pendapat yang mengatakan bahwa hendaknya ada orang yang terhormat di antaramu yang mengajak kepada islam dan memberikan petunjuk kepadanya. Dan mereka itulah yang dimaksud dengan orang orang yang bahagia sebagaimana dijumpai pada akhir ayat 140 ali imran sebagaimana telah disebutkan di atas.
Dengan mengunakan dlamir yang mengkhususkan atau dengan kata lain bahwa kebahagiaan itu hanyalah akan diterima oleh mereka dan tidak bagi selainnya, maka hal itu lebih tepat menjadi indikasi bagi seluruh ummat.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat di ketahui adanya dua hal. Pertama, kewajiban yang dilaksanakan setiap orang dalam berdakwah kepada islam, memberi petunjuk dan berita yang menggembirakan. Kedua, hendaknya ada tenaga ahli yang khusus dari kalangan  umat islam yang mendakwahkan islam. Mereka itu harus orang-orang yang mempunyai kelebihan dalam memahami al-qur`an dan dapat menjelaskanya secara  representatif, adil dan bijaksana sebagaimana halnya nabi muhammad SAW yang pada saat beliau memilih mus`ab bin amir guna menjadi guru membaca al-qur`an bagi orang-orang madinah. Juga sebagaimana halnya kepada bani quraish pada fathul makkah, beliau mengirim orang yang mengajari hukum-hukum islam dan menyelamatkan mereka dari alam kesesatan dan kegelapan kepada alam yang penuh cahaya terang benderang serta kepada petunjuk-nya.
Dengan penjelasan tersebut, maka pendapat yang mengatakan bahwa dakwah sebagai kewajiban umum, atau fardhu ‘ain (tiap individu) dan kewajiban khusus atau fardhu kifayah (hanya bagi kelompok khusus) dapat dipertemukan. Dalam hubungan ini imam syafi’i berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban itu mencakup kewajiban umum dan khusus. Ummat manusia terkena seruan dakwah islamiyah berdasarkan ayat tersebut. Jika di tinggalkan, dosalah semuanya. Oleh karena itu, wajiblah ada suatu kelompok khusus yang melakukan dakwah islamiah dan tentu saja semuanya akan mendapatkan dosa manakala para ulama lainnya tidak melakukan hal itu.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Secara prinsipnya pengamal agama Islam dituntut untuk menyampaikan kebenaran dan melarang perkara-perkara yang tidak baik (mungkar). Hadis Rasulullah "Barang siapa di antara kamu menjumpai kemunkaran maka hendaklah ia rubah dengan tangan (kekuasaan)nya, apabila tidak mampu hendaklah dengan lisannya, dan jika masih belum mampu hendaklah ia menolak dengan hatinya. Dan (dengan hatinya) itu adalah selemah-lemahnya iman". (Hadis riwayat Muslim).

B. SARAN
Jadi setelah kita memahami makalah ini, sebaiknya materi tentang amar ma’ruf nahi mungkar ini dapat menjadi pengetahuan dan renungan bagi kita, karena dalam kehidupan ini kita harus saling membantu dan beramal baik sesama hamba.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid V, (Beirut: Dar al-Fikr, tp.th.).
Al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat Alfath Al-Qur’a, (Beirut: Dar al-Fikr, tp.th.),
Al-Ustaz al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh, Tafsir al-Manar, Juz. IV, (Mesir:tp..pn.tp.th.),
Lihat Abdul A’la al-Maududi, Pokok-pokok Pandaga Hidu Muslim, (Terj.) Osman Raliby dari judul asli islam is way of life, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967).
Sahih: Dikeluarkan oleh al-Bukhari di dalam Shahihnya – hadis no: 2493 (Kitab al-Syarikah, Bab bolehkah mengundi untuk mendapatkan bahagian…).


[1] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid V, (Beirut: Dar al-Fikr, tp.th.), hal 161.
              [2] Ibid. Ahmad Mustafa, hal 29
[3] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jilid V, (Beirut: Dar al-Fikr, tp.th.), hal 21.
[4] Al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat Alfath Al-Qur’a, (Beirut: Dar al-Fikr, tp.th.), hal. 343.
[5] Al-Ustaz al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh, Tafsir al-Manar, Juz. IV, (Mesir:tp..pn.tp.th.), hal. 26.
[6] Lihat Abdul A’la al-Maududi, Pokok-pokok Pandaga Hidu Muslim, (Terj.) Osman Raliby dari judul asli islam is way of life, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hal.32.
              [7] Abdul A’la al-Maududi, op. Cit., hal. 32.
[8] Anwar Masy’ari, Studi Tentang Ilmu Da’wud, (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), cet. I, hal. 38
[9] Sahih: Dikeluarkan oleh al-Bukhari di dalam Shahihnya – hadis no: 2493 (Kitab al-Syarikah, Bab bolehkah mengundi untuk mendapatkan bahagian…).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peradaban Pemikiran Islam Pada Masa Dinasty Muawiyyah, guna untuk menyelesaikan program mata kuliah pada pasca sarjana IAIN Malikussaleh.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP