Peradaban Pemikiran Islam Pada Masa Dinasty Muawiyyah, guna untuk menyelesaikan program mata kuliah pada pasca sarjana IAIN Malikussaleh.


BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Dalam sejarah panjang umat Islam, ada banyak nama tokoh-tokoh penting yang mampu membawa agama Islam pada kemajuan peradaban. Agama Islam menjadi sebuah gelombang peradaban hebat yang pada masa tersebut belum ada kekuatan lain yang mampu menghentikan semangat syiar dan perluasan wilayah yang tengah dilakukan oleh umat Islam.
Perluasan daerah tersebut sebenarnya telah dilakukan semenjak khalifah pertama (Abu Bakar) memegang tampuk kepemimpinan umat pasca dilakukannya jajak pendapat di antara para sahabat. Perluasan demi perluasan membawa beberapa hal yang pada satu sisi berdampak positif, seperti diterjemahkannya pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab, akulturasi bangsa Arab dengan Persia, dan lain sebagainya. Sementara sisi negatif dari perluasan tersebut, melemahnya kondisi internal umat Islam karena sebagian elit sibuk dengan urusannya sendiri karena dengan banyaknya daerah jajahan berarti banyak pajak yang masuk, militer terangsang untuk terus memburu jarahan, munculnya raja-raja kecil yang kadang kurang terkoordinasi dengan pemerintah pusat, serta ketimpangan social di daerah ibu kota.
Khalifah Umayyah, dengan Muawiyyah sebagai raja yang pertama, telah mampu mengorganisir seluruh kekuatan kultural jazirah Arab dalam satu komandonya, sebab ia berangkat dari salah satu bani dari suku Qurais yang memiliki integritas tinggi, baik dalam kaca mata Mekkah maupun Islam. Sebab pernah Nabi bersabda untuk menganjurkan bila kepemimpinan sebaiknya dipegang oleh Qurais.
Hanya saja, keberangkatan Muawiyyah membangun Khalifahnya membutuhkan proses panjang yang berliku, penuh intrik, konspirasi, dan ancaman dari lawan-lawannya. Walau demikian, Muawiyyah mampu membuktikan pada semuanya bila dirinya merupakan salah satu politisi unggul dalam dunia Islam dan tokoh penting yang berhasil membawa Islam pada kejayaan. Maka makalah ini berusaha mengkaji lebih lanjut tentang Peradaban Pemikiran Islam Pada Masa Dinasty Muawiyyah, guna untuk menyelesaikan program mata kuliah pada pasca sarjana IAIN Malikussaleh.

B. PEMBAHASAN
1.      Biografi Dinasti Muawiyah
Muawiyyah lahir di Makkah pada 597 M dari pasangan Abu Sufyan bin Harb dari bani Umayyah dan Hindun binti Utbah yang juga keturunan bani Umayyah.[1] Muawiyyah tidak terhitung sebagai kelompok pengikut pertama Nabi Muhammad. Ia masuk Islam setelah penaklukan Makkah (fathul Makkah) pada 623 M.[2] Kala itu usianya sekitar 25 tahun, ia masuk Islam bersama dengan ayahnya Abu Sufyan, yang awalnya menjadi mata-mata warga Makkah dan menentang Nabi. Setelah dewasa, Muawiyyah tumbuh sebagai sosok yang berbadan tinggi besar dan gagah.
Di masa Rasulullah masih hidup, Muawiyyah dikabarkan pernah menjadi salah seorang pencatat wahyu. Sepeninggal Rasulullah, ia dipercaya oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai Gubernur Syam. Posisi itu terus dipegangnya sampai masa kekhalifahan Sayyidina Ali. Namun, sebagai gubernur, ada satu cacat yang mewarnai pribadi Muawiyyah yaitu senang bermewah-mewah.
Kabar tentang gaya hidup Muawiyah itu sampai ke telinga Khalifah Umar yang terkenal keras dan amat sederhana. Maka pada suatu ketika, Khalifah Umar pun singgah ke Syam untuk membuktikannya. Begitu menyaksikan sendiri cara hidup Muawiyyah, Khalifah Umar pun menegurnya dengan cukup keras.
Teguran itu dijawab Muawiyyah dengan alasan yang masuk akal. Menurut dia, kini ia tengah berada di kawasan yang penuh dengan mata-mata musuh Islam. Karena itu, ia merasa harus menunjukkan kemuliaan penguasa Islam yang berarti juga kemuliaan Islam dan seluruh muslim. Dengan begitu, musuh-musuh Islam akan gentar. Muawiyyah juga memberi catatan, bila Khalifah menginginkan, ia akan menghentikan gaya hidup seperti itu.
Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar tidak melarang dan tidak pula menganjurkan Muawiyyah melanjutkan caranya itu. Umar hanya mengingatkan risikonya harus ditanggung sendiri. Bila niat itu benar, itu adalah pendapat Muawiyyah sendiri. Tapi, jika itu batil, cara itu merupakan tipu daya Muawiyyah sendiri. “Aku tidak menyuruhmu dan tidak pula melarangmu,” ujar Umar waktu itu.
Ada sebuah ungkapan yang dikenal luas dari pribadi Muawiyyah di kalangan Arab, bahkan sampai sekarang, yang berbunyi:
Aku tidak akan menggunakan pedangku selama cambukku sudah cukup. Aku tidak akan menggunakan cambukku selama lidahku masih bisa mengatasi. Jika ada rambut yang membentang antara diriku dan orang yang menentang diriku, maka rambut itu tidak akan pernah putus selamanya. Jika mereka mengulurnya, aku akan menariknya. Jika mereka menariknya, maka aku akan mengulurnya.[3]

Hal tersebut memang mengisyaratkan tentang kepribadian Muawiyyah yang terkenal pandai dalam bernegosiasi. Dengan jalan negosiasi (perang adalah bentuk negosiasi terakhir ketika upaya perundingan tidak tercapai. Lihat bagaimana suku-suku kuno atau Negara-negara modern melakukan upaya diplomasi lebih dahulu dalam kerangka membangun negosiasi, ketika upaya diplomasi gagal, maka ada yang memakai jalan perang untuk membuktikan superioritasnya) pula, Muawiyyah membangun daulah yang mampu membuat Islam sebagai kekuatan baru, ketika Persia dan Bizantium mulai kehilangan pijakan.
Muawiyyah juga membuat perubahan mendasar dalam angkatan perang yang dimilikinya. Muawiyyah mencoba membuat kesetiaan para angkatan perangnya tidak hanya tertuju pada kabilah (bisa diartikan marga) atau suku, namun kepada pemerintah yang telah dibentuknya. Sehingga dengan demikian ia mendapat legitimasi dari seluruh pasukannya yang tidak terdiri dari satu kabilah atau satu suku saja. Karena kepandaian negosiasi serta mampu mempertemukan sekian suku yang ada di jazirah Arab tersebut, akhirnya kebesaran nama Muawiyyah meemukan relevansinya.
Selain itu pula, terhadap umat beragama lain, Muawiyyah juga menjaga toleransi demi persatuan yang tengah ia bangun. Tidak jarang ada pegawai non muslim yang menempati posisi strategis dari pemerintahannya, ia sendiri menikahi salah satu dari perempuan nasrani.[4] Sehingga hubungan interaksi umat islam dengan yang lainnya pada kala tersebut bisa dikatakan lumayan baik.

2.      Latar Belakang Kerajaan Bani Umayyah (Muawiyah)
Sejarah yang membuat Muawiyyah membentuk kerajaan Umayyah tergolong menarik untuk disimak secara lebih lanjut. Prosesnya dimulai ketika dirinya ditunjuk untuk menjadi gubernur di Syam. Ia mampu membuat daerah tersebut menjadi daerah paling kaya di antara seluruh daerah di kekuasaan Islam. Ia menjadi gubernur karena jasa-jasanya yang fenomenal, seperti keberhasilannya mematahkan serangan Romawi dan mengepung Konstantinopel, serta membuat armada laut yang membuat gerakan pasukan muslim semakin luas.[5]  Sewaktu menjabat di Syam, Muawiyyah memang terbilang sebagai gubernur yang cakap dalam mengembangkan potensi yang ada di daerahnya, selain itu ia juga ingin membuat cerminan atas Negara muslim kepada lawan-lawan Islam kalau islam adalah sebuah Negara yang kaya dan tangguh. Dalam literatur sejarah Dinasti Umayah yang didirikan dan dirintis oleh Muawiyah ibn Abu sufyan yang berpusat di Damaskus, dalam fase ini berlangsung sekitar 1 abad dan mengubah sistem pemerintaahan dari sistem khilafah kepada sistem mamlakat ( kerajaan atau Monarki).[6]
Peristiwa yang menjadi pemicu dari keberanian Muawiyyah untuk membuat imperium sendiri adalah ketika khalifah usman meninggal terbunuh dalam sebuah konspirasi politik yang rumit. Khalifah Utsman bagi sebagian besar umat Islam kala itu dinilai terlalu nepotis. Hanya mengandalkan kerabat dan kenalan yang dinilai seide untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan yang ia pimpin.
Utsman dapat menjadi khalifah melewati pertimbangan yang cukup rumit. Ada dua kelompok (bani) dalam Islam yang disegani secara hirarkhis dalam masa itu, yaitu bani Umayyah dan bani hasyim. Keduanya juga memiliki keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh bani-bani lain, bani Umayyah terkenal ulung dalam masalah perniagaan (kekayaan) serta politik. Sedangkan bani Hasyim lebih pada kecenderungan religius (bani Hasyim pada beberapa periode menjadi juru kunci dari Ka’bah) dan tingkat intelektual mereka.
Pemilihan Utsman menjadi khalifah ada dua hal yang melandasinya, pertama adalah, kemungkinan menarik kembali jabatan dari bani Umayyah lebih bisa dimungkinkan dari pada bani Hasyim. Karena bani hasyim telah memiliki basic hegemoni yang kuat di kalangan umat Islam. Kedua, para elit islam ingin metode baru (system pemerintahan), karena menganggap bahwa Umar terlalu tegas, keras dan mengedepankan disiplin. Berbeda dengan Utsman yang cenderung untuk mengambil upaya diplomasi dan kurang begitu mampu untuk memaksakan keputusan yang dibuatnya sendiri.[7]
Dampak dari naiknya Utsman menjadi khalifah juga cukup besar, tampilnya bani Umayyah menjadi kerajaan bayangan dari Negara Islam yang dipimpin oleh Utsman, sehingga sangat masuk akal kalau Muawiyyah menjadi marah atas terbunuhnya utsman. Karena posisi bani Umayyah sudah cukup kuat secara politis, dengan berani Muawiyyah menyatakan tidak akan mengakui pemerintahan Ali sebelum pembunuh Utsman ditangkap. Pembangkangan Muawiyyah ini menjadi jalan dari perang Shiffin yang kemudian melahirkan peristiwa tahkim.
Harus dipahami betul bahwa bani Umayyah memiliki naluri politik dan strategi yang handal, maka tidak mengherankan kalau pemenang dari konflik antara Ali dan Muawiyyah adalah Muawiyyah, meski secara taktik militer muawiyyah tertinggal jauh dari Ali. Maka kemudian pasca tahkim ini muncul kelompok-kelompok dalam Islam yang menjadikan Islam sebuah agama sekaligus identitas kelompok mereka.[8]
Tahkim menjadi titik awal kelemahan pihak Ali dan kebangkitan Muawiyyah dalam memperkokoh bangunan imperium yang hendak disusunnya. Karena setelah peristiwa tersebut, pihak Ali terpecah menjadi dua bagian, sementara di kelompok Muawiyyah menjadi semakin yakin akan keberhasilan mereka. Padahal peristiwa tahkim adalah sebuah siasat untuk melarikan diri dari peperangan dengan memakai taktik politik.
Karena ada dua bentuk pemerintahan dalam sebuah Negara Islam, yaitu Ali dan Muawiyyah, masyarakat menjadi terkena imbasnya, beberapa daerah yang masih loyal terhadap Ali dan secara territorial lebih dekat kepada Muawiyyah menjadi lahan konflik.
Setelah ali meninggal karena terbunuh, puteranya Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyyah, hal mana untuk mengurangi perpecahan yang terjadi, serta membuat satu pemimpin yang sah dan untuk diikuti oleh seluruh umat. Langkah Hasan ibn Ali ini merupakan langkah diplomatis yang memang sudah seharusnya ia melakukan hal tersebut. Karena Ali sebagai symbol khalifah yang sah sudah meninggal, dan Muawiyyah telah menyatakan kekuasaannya. Perang yang sudah berlangsung antara umat islam sendiri mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Karenanya, langkah Hasan ibn Ali bukan semata-mata tanpa pertimbangan yang nyata.
Pada tahun 41 H/661 M, Muawiyyah memindahkan pusat pemerintahan-nya ke Damaskus, yang melatarbelakangi kepindahannya adalah, bahwa Damaskus merupakan daerah yang subur dan penghasil bahan pangan. Kondisi ini akan mendukung dalam upayanya melakukan persiapan menaklukkan daerah luar Arab. Selain itu pula, Muawiyyah ingin sedikit meredakan pertentangan di sekitar wilayah Arab bagian tengah, lebih tepatnya pertentangan dirinya dengan kelompok khawarij maupun sisa-sisa pengikut Ali. Namun yang lebih kuat adalah, bahwa dahulu semenjak ia berhasil membuat angkatan laut, ada ambisi terpendam untuk menguasai daerah-daerah luar Arab yang selama periode ke belakang masih dipegang oleh kekuasan Persia atau Byzantium. Di luar jazirah Arab, masih terdapat hal-hal baru yang tidak terdapat di jazirah Arab, itulah salah satu alasan utama kepindahan Muawiyyah ke Damaskus.
Sebelum meninggal dalam usianya yang ke-83, Muawiyyah telah menunjuk anaknya Yazid untuk mengantikannya sebagai Raja, dengan demikian nyatalah bahwa konsep Negara modern yang coba dibangun oleh Nabi Muhammad dan dikembangkan oleh para sahabatnya harus hancur di tangan Muawiyyah, sebab konsep tadi untuk peradaban manusia pada masa tersebut terlalu canggih dan kurang mengenal kultur yang ada. Konsep monarki hereditis ini selain dipakai Muawiyyah untuk menguatkan posisi dirinya dan bani Umayyah juga berguna untuk membuat umat Islam hanya berada pada satu komando, dan tentunya pemegang komando tersebut adalah keturunannya dan sekelompok orang dari Khalifah Umayyah.

3.      Sistem Pemerintahan Pada Masa Dinasti Muawiyah
Memasuki masa kekuasaan Mu’awiyyah yang menjadi awal kekuasaan bani Umayyah ini, sistem pemerintahan  islam  yang dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turun temurun). Sukses kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya Yazid. Beliau menjadikan azas nepotisme sebagai dasar pengangkatan khalifah. Hal ini menunjukkan bahwa Muawiyah bermaksud mencontoh monarki di Persia dan Bizantium, yakni penerapan garis-garis kepemimpinan.[9]
Perintah ini tentu  saja memberikan  sinyal awal bahwa kesetiaan terhadap Yazid merupakan bentuk pengokohan terhadap sistem pemerintahan yang turun temurun telah coba dibangun oleh Mu’awiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan  berdasarkan asas musyawarah  (syura) dalam  menentukan seorang pemimpin baru. Mu’awiyah telah merubah model kekuasaan dengan model kerajaan yang membenarkan regerisasi kekuasaan dengan cara memberikan kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada di luar garis keturunan Mu’awiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk memimpin pemerintah Umat Islam, karena sistem Khalifah hanya membenarkan satu kebenaran bahwa sukses hanya bisa diberikan kepada keturunan dalam Khalifah tersebut.[10]
Ketika Ali terbunuh pada tahun 661, Muawiyah memiliki pasukan paling besar dalam kedaulatan islam dan memiliki kekuatan yang besar untuk mengklaim kekhalifahan. Putra Ali, Hasan ibn Ali, setelah mempertimbangkan keadaan umat, memberikan hak kekhalifahannya kepada Muawiyah dan memilih tinggal di Madinah dan pensiun. Tahun ini disebut sebagai ‘Aam Jama’ah (Tahun Kesatuan), sebab pada tahun  inilah umat Islam bersatu dalam  menentukan satu khalifah. Pada tahun  itu pula Mu’awiyah mengangkat Marwan bin Hakam sebagai gubernur Madinah.
Setelah terjadinya ketentraman dan persatuan dalam kedaulatan islam, Muawiyah mulai meluncurkan kampanye militer. Ke timur, Pasukan islam berhasil menaklukan Khurasan (663-671) dari arah Basrah, menyebrangi sungai Oxus, dan menyerbu Bukhara di Turkistan (674). Ke Barat, Gubernur Muawiyah di Mesir mengirim ekspedisi dibawah pimpinan Uqba bin Nafi menaklukan Afrika Utara yang masih dikuasai Bizantium sampai Algeria. Ke Utara, menye-rang Asia Kecil untuk melawan Bizantium. Muawiyah juga meluncurkan serangan sebanyak 2 kali meskipun tidak berhasil untuk mengepung Konstan-tinople yang dipimpin putranya, Yazid.
Untuk mengamankan tahtanya, dan memperluas batas wilayah Islam, Muawiyah sangat mengandalkan orang-orang Syam (Suriah), yang kebanyakan terdiri atas bangsa Arab Yaman dan mengenyampingkan umat Islam pendatang dari Hijaz. Menurut riwayat, Orang-orang Syam ini sangat loyal terhadap Muawiyah sejak beliau masih menjadi Gubernur Syam.
Sebagai prajurit, memang kualitas Muawiyah lebih rendah dibandingkan dengan Ali bin Abi Thalib. Tetapi sebagai organisator militer, Muawiyah berha-sil mencetak pasukan Syam menjadi satu kekuatan militer Islam yang teror-ganisir dan berdisiplin tinggi. Dengan mengadopsi kerangka pemerintahan Bizantium, ia membangun sebuah negara yang stabil dan terorganisir. Para seja-rawan mencatatnya sebagai orang islam pertama yang membangun kantor cata-tan negara dan lanyanan pos yang kelak pada masa Abdul Malik bin Marwan menjadi sebuah lembaga yang menghubungkan berbagai wilayah kedaulatan islam yang luas.
Selama berkuasa, kesuksesan Muawiyah ditunjang dengan kerjasamanya dengan pendukungnya, terutama Amr bin Ash, wakilnya di Mesir, Al Mughirah bin Syu’bah, gubernur Kufah, provinsi yang selalu bergolak, dan Abdullah bin Abihi, penguasa Basrah. Ketiga orang ini bersama Muawiyah disebut sebagai empat politisi ulung Arab Islam. Ziyad digelari bin Abihi kerena ketidakjelasan identitas ayahnya. Ibunya adalah seorang budak di Taif yang dikenal Abu Sufyan. Pada awalnya Ziyad adalah pendukung Ali, tetapi pada saat kritis, Mua-wiyah mengakui Ziyad sebagai saudara sahnya.
Dalam diri Muawiyah, seni berpolitik berkembang. Ia memiliki kemam-puan luar biasa untuk menggunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu dan sebagai gantinya lebih banyak menggunakan jaklan damai. Kelembutannya yang sarat dengan kebijakan, yang ia gunakan agar tentara meletakan senjata dan membuat kagum musuhnya, sikapnya yang tidak mudah marah dan pengen-dalian diri yang sangat tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan.
Bagi para Khalifah Bani Umayah sesudahnya, Muawiyah merupakan teladan dalam kelembutan, semangat, kecerdasan, dan kenegarawanan yang berusaha mereka ikuti. Sebelum wafatnya, Muawiyah, dengan menuruti nasehat Mughira, guber-nur Basrah mengangkat putranya Yazid sebagai pengganti dirinya kelak. Hal ini menimbulkan kebencian kaum Syiah. Diantara orang-orang syi’ah yang pertama kali melancarkan permusuhan terbuka terhadap bani Umayyah adalah Hajar bin Adi. Ia mengkritik pedas Mughirah bin Syu’bah, sang gubernur Kufah. Berhu-bung Mughirah bertipikal lemah lembut dan pemaaf, maka ia mengingatkannuya akan akibat tindakannuya. Ketika Mughirah bin Syu’bah wafat, Muawiyah mengangkat Ziyyad sebagai gubernur Kufah. Maka Ziyyad mengirim surat kepada Muawiyah mengenai Hajar bin Adi. Oleh Muawiyah, Hajar bin Adi diundang ke Syam dan membunuhnya bersama pengikut setianya.
Mengenai hal ini seorang sejarawan muslim terkemuka yang bernama Ibnu Khaldun dalam kitabnya Mukaddimah menulis : “Seorang imam tidak sewajarnya dicurigai meskipun dia telah melantik ayah atau puteranya sendiri sebagai penggantinya. Dia telah dipertanggungjawabkan untuk mengurus kebajikan kaum muslimin selagi dia masih hidup. Lebih daripada itu dia ber-tanggungjawab untuk membasmi, semasa hidupnya (kemungkinan mewabahnya perkara-perkara yang tidak diingini) setelah.
Hal yang sedemikian sebagai satu contoh adalah sebagaimana yang berlaku ketikaa Muawiyah melantik puteranya, Yazid. Tindakan itu diambil dengan persetujuan rakyat dan, karena itu, dengan sendirinya menjadi satu bahan hujah kepada persoalan yang dibincangkan. Akan tetapi, Muawiyah sendiri bersikap lebih menyokong puteranya Yazid dibanding dengan calon penggantinya yang lain. Sebabnya ialah, dia lebih menitikberatkan kepentingan umum yang menghendaki adanya perpaduan dan harmoni di kalangan masyarakat itu, karena orang yang menguasai pemerintahan, yaitu Bani Umayyah, pada waktu itu setuju melantik Yazid.
Tidak ada motif lain dari Muawiyah. Hemahnya yang tinggi dan hakikat bahwa dia merupakan salah seorang dari sahabat-sahabat Nabi mencegah keterangan yang lain-lainnya. Fakta bahwa dia sering datang kepada para sahabat terkemuka, untuk dimintai nasihat, dan kenyataan bahwa mereka tidak memberikan pendapat (yang bertentangan) merupakan bukti tidak adanya kecurigaan atas dirinya. Mereka (para sahabat) tidak termasuk orang gegabah yang mengambil keputusan dalam masalah kebenaran, dan demikian pula Muawiyah tidak mudah seenaknya menerima kebenaran. Mereka mempunyai peranan masing-masing dalam  masalah  ini, dan keadilan mereka menahan diri mereka untuk bertindak sewenang-wenangnya.”
Mu'awiyah sendiri wafat pada tanggal  6 Mei 680. Dan digantikan putranya Yazid bin Muawiyah. Wafatnya Khalifah Muawiyah menyebabkan armada laut Arab mundur dari perairan Bosporus dan Aegea, sehingga untuk sementara menghentikan penyerangan ke Konstantinopel.[11]

4.      Usaha dan Jasa Muawiyah
Sejak pemerintahan Mu’awiyah,  Dinasti Umayyah berusaha mengadakan pengembangan dan perluasan daerah Islam ke wilayah Timur sampai kewilayah Khurasan diperluas sampai India . sedangkan ke barat di tujukan ke arah Byzantium beribukota Konstantinopel. Negeri tersebut menjadi pusat agama Kristen Ortodok Yunani.  Sedangkan dengan mengerahkan armada lautnya dengan 1.700 kapal perang menyerbu pulau di sekitar Yunani, wilayah yang berhasil dikuasai diantaranya pulau Rhodes dan Cyprus.
Sebelum menjadi khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan telah menjadi orang penting yang memiliki jasa bagi perkembangan Islam diantaranya :
a.       Pada masa khalifah Abu Bakar As Siddiq, ikut berjuang keras menumpas kaum murtad dan nabi-nabi palsu, serta orang yang tidak mau membayar zakat.
b.      Umar bin Khattab mengangkatnya sebagai Gubernur Yordania
c.       Utsman bin Affan mengangkatnya sebagai Gubernur Syam. Buah dari kegigihannya, beliau berhasil meletakan dasar pemerintahan pada saat menjadi Gubernur Syam
Langkah-langkah pengembangan Islam yang dilakukan Mu’awiyah saat menjabat sebagai khlifah diantaranya adalah :
a.       Membuat anjungan dalam Masjid yang berfungsi sebagai pengamanan
b.      Membentuk pasukan
c.       Mendirikan percetakan uang
d.      Mendirikan Pos surat
e.       Mendirikan istana untuk Khalifah[12]

5.      Usaha Dinasti Muawiyah Dalam Mempertahankan Kekuasaan
Langkah strategis yang dilakukan Muawiyah setelah mendapatkan jabatan dari Hasan bin Ali pada tahun 41 H/661 M adalah :
a.       Meminta Pengakuan dari para pengikut Hasan bin Ali
Muawiyah bin Abi Sufyan meminta kepada Hasan bin Ali untuk menjelaskan hasil kesepakatan yang telah dicapai antara Hasan Bin Ali dengan Muawiyah dalam sebuah pertemuan di maskin kepada para pendukungnya. Muawiyah berharap, dengan cara seperti ini, ia akan berhasil menjalankan roda pemerintahan tanpa harus mendapatkan banyak perlawanan atau penolakan dari kelompok yang kurang setuju atas hasil kesepakan tersebut. selain itu, pelimpahan kekuasaan yang terjadi dari tangan Hasan ke tangan Muawiyah akan terjadi semakin kuat posisi dan kedudukan Muawiyah karena mendapat dukungan yang relatif cukup kuat dari penduduk Kufah, Basrah dan para penduduk kota-kota lainnya.
Permohonan Muawiyah telah disetujuinya, Hasan bin Ali kemudaia mengumpulkan para sahabat setianya di kediaman Madain, sebelum memberikan penjelasan lebih jauh kepada para sahabat setianya di Masjid Kufah. Di dalam pertempuran itu Hasan  menjelaskan bahwa dirinya telah menyerahkan kekuasan kepada Muawiyah dan telah mengakui Muawiyah sebagai pemimpin. Oleh karena itu, sekali lagi lagi Hasan meminta agar mereka melakukan seperti apa yang dilakukannya, yaitu menjadikan Muawiyah sebagai pemimpin mereka, dan jangan sekali-kali membantahnya bila telah melakukan bai’at kepadanya.
Sebagai penegasan atas pelimpahan khalifah tersebut, kembali Hasan bin Ali pergi ke Masjid Kufah untuk memberikan penjelasan mengenai alasan mengapa ia mau memberikan kekuasaan kepada Muawiyah dan mengakuinya sebagai khalifah. Setelah umat Islam berkumpul di Masjid, Hasan bin Ali di minta oleh Amr bin Al-Ash melalui Muawiyah untuk memberikan penjelasan kepada para sahabat setianya mengenai pristiwa yang telah terjadi di Maskin itu. Ketika itu, hadir tokoh-tokoh penting, baik dari pihak Hasan bin Ali maupun baik pihak Muawiyah bin Abi Sufyan. Dari pihak Hasan bin Ali hadir antara lain, Abdullah bin Abbas, Qays bin Sa’ad, Abu Ja’far, Abu Amir, dan lainnya. Sementara dari pihak Muawiyah hadir antara lain, ’Amr bin Al-Ash, Abu Al-A’war Al-Sulma, ’Amr bin Sufyan.
Di dalam masjid Kufah inilah, Hasan bin Ali memberikan penjelasan mengapa ia mau memberikan kekuasaan kepada Muawiyah dan mau mengakuinya sebagai khalifah. Mereka bergiliran memeberikan sambutan masing-masing. Sebelum Muawiyah meminta umat Islam mengakui kepemim-pinannya, terlebih dahulu Hasan diminta untuk memberikan penjelasan kepada pendukung setianya. Baru kemudian Muawiyah yang berbicara dan memberikan penjelasan penting mengenai perjanjian perdamain yang telah di sepakati bersama antara dirinya dan Muawiyah bin Abi Sufyan, dengan berbagai konsekuensinya. Antara lain, mereka diminta melakukan apa yang telah di sepakati dan mentaati perintah Muawiyah yang kini telah menjadi pemimpin mereka.
Setelah memberikan penjelasan kepada pengikutnya, maka secara de Jure atau secara legal, Muawiyah telah menjadi nomor satu di dunia Islam kala itu. Dengan kata lain, sejak saat itulah berdirinaya dinasti Bani Umayyah pada tahun 661 M.
b.      Memindahkan Pusat Kekuasaan ke Damaskus
Setelah Muawiyah memperoleh pengakuan dari para pengikut Hasan bin Ali, maka langkah yang dilakukan selanjutnya adalah usahanya memindahkan pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke Damaskus. Pemindahan ini dilakukan karena di kota itulah pusat kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan sebenarnya. Di kota itulah para pendukung setianya berada. Dari kota Damaskus Muawiyah mengendalikan pemerintahan dan mengatur berbagai kebijakan politik.
Alasan lainnya Muawiyah memindahkan pusat kekhalifahan adalah : karena Kota Damaskus memiliki letak yang sangat strategis bagi Muawiyah untuk mengambangkan kekuasaanya ke bakas-bekas wilayah kekuasaan kerajaan Romawi di bagian utara. Letak strategis itu tidak hanya dari sisi politik militer, juga dari sisi ekonomi. Sebab kota Damaskus. Syiria terletak di dekat laut Tengah (Laut Mediterania) yang merupakan jalur perdagangan ke Eropa. Upaya yang dilakukan Muawiyah ini memang sangat strategis. Sebab, selain alasan politik, ekonomi dan perdagangan , Damaskus juga pernah menjadi Wilayah jajahan Romawi dan Persia. Dua kerajaan yang pernah mempunyai masa kejayaan yang di tinggalkan di kota tersebut. Karena itu wajar bila kemudian pada masa pemerintahan Muawiyah dan para penerusnya banyak terjadi perkembangan ilmu pengetahuan, peradapan dan sebagainya.
Muawiyah bin Sufyan dalam usahanya memindahkan pusat pemerintahan ke Damaskus, merupakan sebuah langkah yang tepat ketika itu. Sebab bila tidak di lakukan dengan segera, kemungkinan ia akan banyak menghabiskan energi dan waktu hanya sekedar untuk menghalau mereka yang tidak senang atas kepemimpinan Muawiyah. Selain itu, kemungkinan besar ia tidak memiliki banyak peluang untuk mengembangkan kemampuanya di dalam membangun sebuah cita-cita diri dan kablahnya untuk menjadi penguasa tunggal di dunia Islam.
c.       Mengangkat Para Pejabat Gubernur
Setelah Muawiyah berhasil memindahkan pusat pemerintahan ke Damaskus, maka langkah selanjutnya adalah mengangkat para pejabat yang akan membantunya dalam menjalankan roda pemerintahan. Orang-orang tersebut dipercaya untuk  memangku  jabatan yang amat strategis di wilayah kekuasaan Muawiyah guna mempertahankan keutuhan wilayah dan kekuasaan yang ada. Mereka menjabat sebagai gubernur yang tunduk di bawah kekuasaan pemerintahan dinasti Bani Umaiyah di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Muawiyah bin Abi Sufyan sejak usia remaja telah nampak jiwa kepemimpinannanya,  beliau  memiliki sifat dan kepribadian sampai pada tingkat hilm yang terkenal dimiliki orang-orang Mekkah. Muawiyah di gambarkan sebagai orang yang tidak mudah terpancing emosi, tidak mudah bingung, selalu melalui pertimbangan yang masak dalam menentukan atau mengambil sebuah keputusan. Hal ini dapat dilihat dari kebijakanya dalam mengangkat para pejabat dan bawahanya yang akan menjadi pembantu setianyadi dalam menjalankan roda pemerintahan. Misalnyasaja soalpengangkatan gubernur daerah yang akan menjadi pejabat di wilayah yang berada di bawah kekuasaanya.
Muawiyah bin Abi Sufyan telah memilih beberapa orang yang dapat memperkuat posisi kepemimpinannya. Mereka adalah Amr bin Al-Ash, Mughirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Kedua orang yang di sebutkan itu, Amr dan Al Mughirah bin Syu’bah, memiliki peran yang sangat penting, baik sebelum atau sesudah Muawiyah menjadi khalifah. Sementara Ziyad baru memainkan peran pentingnya ketika ia di beri kesempatan oleh Muawiyah untuk menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan Bani Umaiyah, yaitu gubernur Basrah.
Salah satu alasan Muawiyah merangkul  Amr bin Al-Ash, adalah karena ia telah memiliki kemampuan luar biasa dalam masalah taktik dan strategi politik dan peperangan yang sebanding dengannya. Ia kemudian di ajak kerjasama dalam mengahadapi kekuatan Ali bin Abi Thalib, yang kemudian setelah itu diberi kepercayaan untuk menaklukan Mesir dan setelah berhasil Amr di percaya menjadi gubernur kota itu. Setelah Muawiyah bin Abi Sufyan berhasil mendapatkan legitimasi politik dari masyarakat luas, khususnya para pendukung Ali dan Hasan di Kufah dan Basrah, jabatan tersebut tetap di percayakan kepada Amr bin Al-Ash. Pemberian jabatan ini karena Muawiyah tau persis kemampuan yang di miliki Amr dan kekuatan yang ada padanya. Amr berkuasa sebagai gubernur selama kurang lebih dua tahun (41-43 H).
Selain merangkul Amr bin Al-Ash, Muawiyah juga mengangkat  Al-Mhugirah bin Syu’bah. Ia memiliki potensi besar dengan dukungan masa ynag cukup banyak di kotanya. Karena itu, ketika Muawiyah berkuasa sebagai khalifah, ia melihat Al-Mughirah sebagai seorang tokoh potensial yang perlu di rangkul dengan jabatan strategis di wilayah Kufah, jabatan yang pernah di dipegang selama satu tahun atau dua tahun ketika Umar bin Khattab berkuasa yang mencakup pula wilayah Syiria. Ia mengaku jabatan ini selama lebih kurang satu dasawarsa hingga ia wafat pada tahun 50 H. Setelah ia wafat, wilayah kekuasaanya di gabungkan Muawiyah ke dalam wilayah pemerintahan gubernur Ziyad bin Abihi.
Tokoh lainnya yang dianggap perlu diangkat adalah: Ziyad bin Abihi. Dalam pandangan Muawiyah, orang seperti Ziyad juga perlu mendapatkan perhatian dan kedudukan khusus di pemerintahan. Sebab, Ziyad bin Abihi, meskipun sedikit memiliki pengaruh keluarga atau klan, karena Ziyad di beritakan tidak memiliki ayah yang jelas yang kemudian orang mengenalnya dengan sebutan Ziyad bin Abihi tetap saja menjadi orang yang di perhitungkan oleh Muawiyah, bukan hanya karena reputasinya, juga karena dari penelusuran silsilah atau asal usulnya, ternyata Ziyad di ketahui anak seorang ibu yang sebenarnya budak Abi Sufyan yang berasal dari Thaif yang beralih tangan al-Harits bin Kaldah sebelum Ziyad lahir. Karenanya, Ziyad juga sering di sebut dengan Ziyad bin Abi Sufyan.
Pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib berkuasa, Ziyad di tunjuk sebagai gubernur Basrah dengan tugas khusus di persia bagian selatan. Karenanya ketika Ali wafat, dan Hasan memberikan kekuasaan kepada Muawiyah dalam peristiwa Am al-Jama’ah di maskin tahun 661 M/41 H, ia pindah ke persia sembunyi di sana. Hal itu di  lakukan karena ia merasa khawatir akan keselamatan dirinya karena ia telah menolak ajakan Muawiyah agar Ziyad mau bergabung bersamanya yang telah mengakuinya sebagai saudara seayah .
Berkat kecerdikan Muawiyah dan kepiawaian, maka Muawiyah akhirnya mampu mempengaruhi Ziyad untuk bergabung dengannya, bahkan Muawiyah mengikatnya dengan ikatan perkawinan antara putri Muawiyah dengan putra Ziyad bernama Muhammad bin Ziyad. Dengan cara-cara seperti itu, akhirnya Ziyad mau menyatakan bersedia bergabung dan secara otomatis mengakui keberadaan khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Hal tersebut dilakukan Muawiyah karena ia melihat potensi besar yang dimiliki Ziyad dalam masalah kemiliteran dan keteguhan dalam mempertahankan prinsip yang dimilikinya.
Ditempat tugas barunya  inilah Ziyad  menyampaikan pidato perdananya kepada masyarakat Basrah. Pidato yang disampaikan sangat mengagumkan dan sekaligus menggetarkan sendi-sendi orang yang berusaha menentang kekuasaannya atau kekuasaan Muawiyah. Pidatonya itu di kenal dengan pidatobatra, karena tidak dimulai dengan ucapan basmalah. Isi pidatonya sangat jelas dan menelanjangi kejahatan-kejahatan penduduk Basrah. Ia mengulurkan ancaman-ancaman keras terhadap mereka yang tidak patuh.  Dalam pidatonya itu, ia juga bersumpah kalau tidak hanya akan menghukum mereka yang berdosa, juga menghukum tuan lantaran dosa hamba sahaya, dan seterusnya.
Diantara isi pidato Ziyad adalah sebagai berikut:
”Kebencian pada diriku tidak akan aku hukum hanya kejahatan (yang kuhukum). Banyak yang berduka karena kedatanganku akan bergembira, dan mereka yang berduka akan berduka. Aku datang kepada kalian atas kehendak Allah untuk memerintahmu dan mengawasi kesejahteranmu. Maka menjadi kewajibanmulah untuk mendengar dan mematuhikudalam hal yang kupandang baik, dan hak kamulah untuk menuntutku agar berbuat adil dalam tanggung jawabku. Dalam beberapa hal aku memiliki kekurangan, tetepi ada tiga hal yang aku bertekad untuk tidak kekurangan. Aku akan mendengar permohonan-permohonanmu, bahkan jika kamu datang mal;am hari, aku tidak akan menahan makanan dan tunjangan-tunjanganmu melewati waktunya, dan aku tidak akan mengirim kamu ke medan perang untuk waktu yang lama. Doakanlah kesejahteraan pemimpin-pemimpinmu, karena mereka adalah penguasamu yang membenarkanmu dan tempetmu memperoleh pertolongan. Janganlah hatimu dipenuhi kedengkian dan kemarahan pada mereka, karena tidak baik bagimu. Jika kamu melihatku masalahmu dengan baik, maka berterima kasihlah. Saya melihat di antara kamu ada banyak bangkai, hati-hatilah jangan sampai ada di antara kamu yang akan menjadi bangkai pula.”

Mendengar pidato Ziyad tersebut, banyak penduduk Basrah dan orang-orang yang mencoba berusaha melawannya, berdiri, merinding dan ketakutan. Karena dengan tegas dan sangat jelas, bahwa Ziyad  akan menjatuhkan hukuman kepada mereka yang membangkang dan tidak patuh terhadap pemimpin yang telah mereka akui keberadaanya. Selain itu, juga membawa angin segar bagi para penduduk yang mau bekerja sama dengannya dalam membangun dan mempertahankan keutuhan wilayah Islam. Bahkan ia berjanji akan membuka pintu rumahnya bagi mereka yang ingin menyampaikan keluhan dan saran yang baik guna kemajuan atau kemaslahatan umat dan negara.
Pidato Ziyad  yang begitu tegas dan  transparan tersebut, membuat suasana jadi tegang dan tidak memberi peluang bagi mereka yang ingin berbuat kecurangan atau berbuat tidak adil. Bagi mereka yang mau melakukan pemberontakan, akan berfikir ulang untuk merealisasikannya. Karena mereka tau benar siapa Zayid bin Abihi. Ia di kenal tegas dan tidak pandang bulu ketika menjatuhkan sanksi hukum. Hal itu dapat dilihat, misalnya ketika memperlakukan jam malam. Al-Thabary menceritakan bahwa Ziyad pernah menjatuhkan hukum pancung pada seorang musafir yang tertangkap pada malam hari oleh penjaganya. Padahal, musafir itu tidak mengetahui adanya jam malam dengan adanya keluar bagi masyarakat, dan bagi mereka yang melanggar peraturan itu, akan di hukum pancung. Oleh karena itu, ketika musafir itu di bawah ke hadapan Ziyad, gubernur itu mengintrograsinya. Ziyad bertanya : apakah engkau tidak mengetahui (mendengar) adanya peraturan pelanggaran adanya jam malam? Musafir itu menjawab. Demi Allah, aku tidak mendengarnya. Aku seorang musafir yang kemalaman, karena itu aku berhenti di padang pasir menuggu datangnya fajar subuh, dan aku tidak tau adanya larangan keluar malam. Ziyad menjawab: ”Aku kira egkau benar, tetapi demi kemaslahatan rakyat, engkau harus dibunuh.”
Ziyad merupakan sosok pemimpin yang tegas dan tidak plin-plan. Ia teguh mempertehankan prinsip dan semuanya itu dilakukan untuk menegakkan peraturan yang telah dikeluarkan. Dengan kata lain dapat di katakan bahwa ketegasan yang di perlihatkan oleh Ziyad sebagai seorang penguasa lokal dan wujud dari seorang khalifah yang berkuasa, justru menjadi momen penting dan bahkan sangat kondusif untuk membangun citra pemerintahan Muawiyah di daerah Basrah dan sekitarnya, sehingga mereka yang ingin berlaku macam-macam untuk melanggar atau menentang kekuasaanya, akan berhadapan denganya dan hidupnya akan berakhir di ujung pedang.
Muawiyah selain memberikan jabatan kepada tiga tokoh di atas juga memberikan jabatan kepada Marwan bin Al-Hakam untuk diangkat menjadi gubernur Madinah, Mekkah dan Tha’if. Marwan memegang jabatan itu hingga Muawiyah wafat pada tahun 680 M. Di antara alasan mengapa Muawiyah memberikan jabatan itu kepada Marwan adalah karena Marwah masih saudara sepupu Muawiyah yang telah banyak memberikan Investasinya untuk mendudkung gerakan Muawiyah memperoleh posisi penting dalam dunia Islam menjadi nomor satu, terutama pasca kematian khalifah Usman dan perjalanan karier politik Muawiyah bin Abi Sufyan.
Kecerdasan Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai seorang pemimpin politik nampak dari strateginya dalam merekrut tokoh-tokoh penting yang memiliki pengaruh dan daerah kekuasaan sebagaimana para tokoh-tokoh di atas. Dengan mengangkatnya beberapa tokoh di atas, maka posisi Muawiyah sebagai seorang pemimpin semakin kuat.

C. KESIMPULAN
Dengan bertolak dari pembahasan terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa, yang menjadi cikal bakal terbentuknya Dinasti Umayah adalah dengan adanya arbiterase yang dimenangkan Mu’awiyah. Dengan terbunuhnya ‘Ali, memberikan peluang yang besar bagi Mu’awiyah untuk memproklamirkan diri sebagai khalifah.
Jadi kekuasaan Mu’awiyah berawal dari kekuasaan Dinati Umayah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi sistem pemerintahan yang monarchy heredities (kekuasaan turun temurun). Kekuasaan Daulah Umayah berlangsung dalam kurun waktu selama 90 tahun, dengan sejumlah kemajuan yang berhasil dicapainya, dan salah satu di antaranya adalah dalam bidang politik. Kekuasaan Mu’awiyah mendirikan Dinasti Umayah, bukan hanya diperoleh dengan kemenangannya melalui arbiterase yang licik, tetapi juga mendapat dukungan dari rakyat Syiria dan keluarganya yang memiliki kemampuan yang menonjol sebagai negarawan sejati.


DAFTAR PUSTAKA

http//.www.wordpress.com. Tinjauan Kritis Terhadap Fase-Fase Peradaban Islam. Diakses Pada 04 Okt 2016
Bernard lewis, 1994, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, pent. Said jamhuri Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Ahmad Amin, Husayn, 2001, Seratus Tokoh Dalam Islam, ed. Cucu Juanda, Bandung: Rosda Karya.
A. Syalabi,  Sejarah dan Kebudayaan Islam II, pent. Mukhtar Yahya (Jakarta: Al Husna Dzikra, 200), hal. 48
Samsul Nizar, Sejarah pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana prenada media Group, tt).
A. Syalabi, 2000, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, pent. Mukhtar Yahya, Jakarta: Al Husna Dzikra.
Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, 1951, As-Syiyasah As-Syar’iyah fi Islah Ar-Ra’iyah(Mesir, Darul Kitab al-Gharbi.
Lihat, Muawiyah Bin Abi Sufyan Sejarah Islam, http://paradigmakaumpedalaman. blogspot. co.id, Diakses Pada 04 Oktober 2016
Fitri, 2015, Usaha dan Jasa Muawiyah bin Abu Suyan, fhttp://tantifitriasridianti. blogspot.co.id, Diakses Pada 04 Oktober 2016


[1] http//.www.wordpress.com. Tinjauan Kritis Terhadap Fase-Fase Peradaban Islam. Diakses Pada 04 Okt 2016

[2] Bernard lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, pent. Said jamhuri (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994) hal. 33
[3] Ungkapan ini seelanjutnya terkenal dengan nama rambut Muawiyyah, lih. Ahmad Amin, Husayn, Seratus Tokoh Dalam Islam, ed. Cucu Juanda (Bandung: Rosda Karya,2001) hal. 26.
[4] Keluarga Sarjun adalah pemeluk nasrani, secara turun temurun tuga mengelola bait al-mal diserahkan kepada mereka. Muawiyyah menikahi Masyun, seorang perempuan nasrani, dari perempuan ini kemudian lahirlah Yazid, yang menjadi raja setelahnya. Lih, Ahmad Amin, Husayn…hal. 26

[5] A. Syalabi,  Sejarah dan Kebudayaan Islam II, pent. Mukhtar Yahya (Jakarta: Al Husna Dzikra, 200), hal. 48
[6] Samsul Nizar, Sejarah pendidikan Islam, ( Jakarta: Kencana prenada media Group), hal. 55

[7] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, pent. Mukhtar Yahya (Jakarta: Al Husna Dzikra, 200) hal. 273
[8] Ibid, hal. 306
[9] Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, As-Syiyasah As-Syar’iyah fi Islah Ar-Ra’iyah(Mesir, Darul Kitab al-Gharbi, 1951), hal. 42

[11] Lihat, Muawiyah Bin Abi Sufyan Sejarah Islam, http://paradigmakaumpedalaman. blogspot. co.id, Diakses Pada 04 Oktober 2016
[12] Fitri, 2015, Usaha dan Jasa Muawiyah bin Abu Suyan, fhttp://tantifitriasridianti. blogspot.co.id, Diakses Pada 04 Oktober 2016



TERIMAKASIH SUDAH MENGUNJUNGI BLOG SAYA, JANGAN LUPA DI SHARE AND DI LIKE YHA TEMAN....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAFTAR RIWAYAT HIDUP