Peradaban Pemikiran Islam Pada Masa Dinasty Muawiyyah, guna untuk menyelesaikan program mata kuliah pada pasca sarjana IAIN Malikussaleh.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam sejarah panjang umat Islam,
ada banyak nama tokoh-tokoh penting yang mampu membawa agama Islam pada
kemajuan peradaban. Agama Islam menjadi sebuah gelombang peradaban hebat yang
pada masa tersebut belum ada kekuatan lain yang mampu menghentikan semangat
syiar dan perluasan wilayah yang tengah dilakukan oleh umat Islam.
Perluasan daerah tersebut sebenarnya
telah dilakukan semenjak khalifah pertama (Abu Bakar) memegang tampuk
kepemimpinan umat pasca dilakukannya jajak pendapat di antara para sahabat.
Perluasan demi perluasan membawa beberapa hal yang pada satu sisi berdampak
positif, seperti diterjemahkannya pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab,
akulturasi bangsa Arab dengan Persia, dan lain sebagainya. Sementara sisi
negatif dari perluasan tersebut, melemahnya kondisi internal umat Islam karena
sebagian elit sibuk dengan urusannya sendiri karena dengan banyaknya daerah
jajahan berarti banyak pajak yang masuk, militer terangsang untuk terus memburu
jarahan, munculnya raja-raja kecil yang kadang kurang terkoordinasi dengan
pemerintah pusat, serta ketimpangan social di daerah ibu kota.
Khalifah Umayyah, dengan Muawiyyah
sebagai raja yang pertama, telah mampu mengorganisir seluruh kekuatan kultural
jazirah Arab dalam satu komandonya, sebab ia berangkat dari salah satu bani
dari suku Qurais yang memiliki integritas tinggi, baik dalam kaca mata Mekkah
maupun Islam. Sebab pernah Nabi bersabda untuk menganjurkan bila kepemimpinan
sebaiknya dipegang oleh Qurais.
Hanya saja, keberangkatan Muawiyyah
membangun Khalifahnya membutuhkan proses panjang yang berliku, penuh intrik,
konspirasi, dan ancaman dari lawan-lawannya. Walau demikian, Muawiyyah mampu
membuktikan pada semuanya bila dirinya merupakan salah satu politisi unggul
dalam dunia Islam dan tokoh penting yang berhasil membawa Islam pada kejayaan.
Maka makalah ini berusaha mengkaji lebih lanjut tentang Peradaban Pemikiran
Islam Pada Masa Dinasty Muawiyyah, guna untuk menyelesaikan program mata kuliah
pada pasca sarjana IAIN Malikussaleh.
B. PEMBAHASAN
1.
Biografi
Dinasti Muawiyah
Muawiyyah lahir di Makkah pada 597 M
dari pasangan Abu Sufyan bin Harb dari bani Umayyah dan Hindun binti Utbah yang
juga keturunan bani Umayyah.[1]
Muawiyyah tidak terhitung sebagai kelompok pengikut pertama Nabi
Muhammad. Ia masuk Islam setelah penaklukan Makkah (fathul Makkah) pada 623 M.[2] Kala
itu usianya sekitar 25 tahun, ia masuk Islam bersama dengan ayahnya Abu Sufyan,
yang awalnya menjadi mata-mata warga Makkah dan menentang Nabi. Setelah dewasa,
Muawiyyah tumbuh sebagai sosok yang berbadan tinggi besar dan gagah.
Di masa Rasulullah masih hidup,
Muawiyyah dikabarkan pernah menjadi salah seorang pencatat wahyu. Sepeninggal
Rasulullah, ia dipercaya oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai Gubernur Syam.
Posisi itu terus dipegangnya sampai masa kekhalifahan Sayyidina Ali. Namun,
sebagai gubernur, ada satu cacat yang mewarnai pribadi Muawiyyah yaitu senang
bermewah-mewah.
Kabar tentang gaya hidup Muawiyah
itu sampai ke telinga Khalifah Umar yang terkenal keras dan amat sederhana.
Maka pada suatu ketika, Khalifah Umar pun singgah ke Syam untuk membuktikannya.
Begitu menyaksikan sendiri cara hidup Muawiyyah, Khalifah Umar pun menegurnya
dengan cukup keras.
Teguran itu dijawab Muawiyyah dengan
alasan yang masuk akal. Menurut dia, kini ia tengah berada di kawasan yang
penuh dengan mata-mata musuh Islam. Karena itu, ia merasa harus menunjukkan
kemuliaan penguasa Islam yang berarti juga kemuliaan Islam dan seluruh muslim.
Dengan begitu, musuh-musuh Islam akan gentar. Muawiyyah juga memberi catatan,
bila Khalifah menginginkan, ia akan menghentikan gaya hidup seperti itu.
Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar
tidak melarang dan tidak pula menganjurkan Muawiyyah melanjutkan caranya itu.
Umar hanya mengingatkan risikonya harus ditanggung sendiri. Bila niat itu
benar, itu adalah pendapat Muawiyyah sendiri. Tapi, jika itu batil, cara itu
merupakan tipu daya Muawiyyah sendiri. “Aku tidak menyuruhmu dan tidak pula
melarangmu,” ujar Umar waktu itu.
Ada sebuah ungkapan yang
dikenal luas dari pribadi Muawiyyah di kalangan Arab, bahkan sampai sekarang,
yang berbunyi:
Aku tidak akan menggunakan pedangku selama cambukku sudah cukup.
Aku tidak akan menggunakan cambukku selama lidahku masih bisa mengatasi. Jika
ada rambut yang membentang antara diriku dan orang yang menentang diriku, maka
rambut itu tidak akan pernah putus selamanya. Jika mereka mengulurnya, aku akan
menariknya. Jika mereka menariknya, maka aku akan mengulurnya.[3]
Hal tersebut memang mengisyaratkan
tentang kepribadian Muawiyyah yang terkenal pandai dalam bernegosiasi. Dengan
jalan negosiasi (perang adalah bentuk negosiasi terakhir ketika upaya
perundingan tidak tercapai. Lihat bagaimana suku-suku kuno atau Negara-negara
modern melakukan upaya diplomasi lebih dahulu dalam kerangka membangun
negosiasi, ketika upaya diplomasi gagal, maka ada yang memakai jalan perang
untuk membuktikan superioritasnya) pula, Muawiyyah membangun daulah yang mampu
membuat Islam sebagai kekuatan baru, ketika Persia dan Bizantium mulai
kehilangan pijakan.
Muawiyyah juga membuat perubahan
mendasar dalam angkatan perang yang dimilikinya. Muawiyyah mencoba membuat
kesetiaan para angkatan perangnya tidak hanya tertuju pada kabilah (bisa
diartikan marga) atau suku, namun kepada pemerintah yang telah dibentuknya.
Sehingga dengan demikian ia mendapat legitimasi dari seluruh pasukannya yang
tidak terdiri dari satu kabilah atau satu suku saja. Karena kepandaian
negosiasi serta mampu mempertemukan sekian suku yang ada di jazirah Arab
tersebut, akhirnya kebesaran nama Muawiyyah meemukan relevansinya.
Selain itu pula, terhadap umat
beragama lain, Muawiyyah juga menjaga toleransi demi persatuan yang tengah ia
bangun. Tidak jarang ada pegawai non muslim yang menempati posisi strategis
dari pemerintahannya, ia sendiri menikahi salah satu dari perempuan nasrani.[4]
Sehingga hubungan interaksi umat islam dengan yang lainnya pada kala tersebut
bisa dikatakan lumayan baik.
2.
Latar
Belakang Kerajaan Bani Umayyah (Muawiyah)
Sejarah yang membuat Muawiyyah
membentuk kerajaan Umayyah tergolong menarik untuk disimak secara lebih lanjut.
Prosesnya dimulai ketika dirinya ditunjuk untuk menjadi gubernur di Syam. Ia
mampu membuat daerah tersebut menjadi daerah paling kaya di antara seluruh
daerah di kekuasaan Islam. Ia menjadi gubernur karena jasa-jasanya yang
fenomenal, seperti keberhasilannya mematahkan serangan Romawi dan mengepung
Konstantinopel, serta membuat armada laut yang membuat gerakan pasukan muslim
semakin luas.[5] Sewaktu
menjabat di Syam, Muawiyyah memang terbilang sebagai gubernur yang cakap dalam
mengembangkan potensi yang ada di daerahnya, selain itu ia juga ingin membuat
cerminan atas Negara muslim kepada lawan-lawan Islam kalau islam adalah sebuah
Negara yang kaya dan tangguh. Dalam literatur sejarah Dinasti Umayah yang didirikan
dan dirintis oleh Muawiyah ibn Abu sufyan yang berpusat di Damaskus, dalam fase
ini berlangsung sekitar 1 abad dan mengubah sistem pemerintaahan dari sistem
khilafah kepada sistem mamlakat ( kerajaan atau Monarki).[6]
Peristiwa yang menjadi pemicu dari
keberanian Muawiyyah untuk membuat imperium sendiri adalah ketika khalifah
usman meninggal terbunuh dalam sebuah konspirasi politik yang rumit. Khalifah
Utsman bagi sebagian besar umat Islam kala itu dinilai terlalu nepotis. Hanya
mengandalkan kerabat dan kenalan yang dinilai seide untuk mengisi
jabatan-jabatan pemerintahan yang ia pimpin.
Utsman dapat menjadi khalifah
melewati pertimbangan yang cukup rumit. Ada dua kelompok (bani) dalam Islam
yang disegani secara hirarkhis dalam masa itu, yaitu bani Umayyah dan bani
hasyim. Keduanya juga memiliki keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh
bani-bani lain, bani Umayyah terkenal ulung dalam masalah perniagaan (kekayaan)
serta politik. Sedangkan bani Hasyim lebih pada kecenderungan religius (bani
Hasyim pada beberapa periode menjadi juru kunci dari Ka’bah) dan tingkat
intelektual mereka.
Pemilihan Utsman menjadi khalifah
ada dua hal yang melandasinya, pertama adalah, kemungkinan menarik kembali
jabatan dari bani Umayyah lebih bisa dimungkinkan dari pada bani Hasyim. Karena
bani hasyim telah memiliki basic hegemoni yang kuat di kalangan umat Islam.
Kedua, para elit islam ingin metode baru (system pemerintahan), karena
menganggap bahwa Umar terlalu tegas, keras dan mengedepankan disiplin. Berbeda
dengan Utsman yang cenderung untuk mengambil upaya diplomasi dan kurang begitu
mampu untuk memaksakan keputusan yang dibuatnya sendiri.[7]
Dampak dari naiknya Utsman menjadi
khalifah juga cukup besar, tampilnya bani Umayyah menjadi kerajaan bayangan
dari Negara Islam yang dipimpin oleh Utsman, sehingga sangat masuk akal kalau
Muawiyyah menjadi marah atas terbunuhnya utsman. Karena posisi bani Umayyah
sudah cukup kuat secara politis, dengan berani Muawiyyah menyatakan tidak akan
mengakui pemerintahan Ali sebelum pembunuh Utsman ditangkap. Pembangkangan
Muawiyyah ini menjadi jalan dari perang Shiffin yang kemudian melahirkan
peristiwa tahkim.
Harus dipahami betul bahwa bani
Umayyah memiliki naluri politik dan strategi yang handal, maka tidak
mengherankan kalau pemenang dari konflik antara Ali dan Muawiyyah adalah
Muawiyyah, meski secara taktik militer muawiyyah tertinggal jauh dari Ali. Maka
kemudian pasca tahkim ini muncul kelompok-kelompok dalam Islam yang menjadikan
Islam sebuah agama sekaligus identitas kelompok mereka.[8]
Tahkim menjadi titik awal kelemahan
pihak Ali dan kebangkitan Muawiyyah dalam memperkokoh bangunan imperium yang
hendak disusunnya. Karena setelah peristiwa tersebut, pihak Ali terpecah
menjadi dua bagian, sementara di kelompok Muawiyyah menjadi semakin yakin akan
keberhasilan mereka. Padahal peristiwa tahkim adalah sebuah siasat untuk
melarikan diri dari peperangan dengan memakai taktik politik.
Karena ada dua bentuk pemerintahan
dalam sebuah Negara Islam, yaitu Ali dan Muawiyyah, masyarakat menjadi terkena
imbasnya, beberapa daerah yang masih loyal terhadap Ali dan secara territorial
lebih dekat kepada Muawiyyah menjadi lahan konflik.
Setelah ali meninggal karena
terbunuh, puteranya Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyyah, hal mana
untuk mengurangi perpecahan yang terjadi, serta membuat satu pemimpin yang sah
dan untuk diikuti oleh seluruh umat. Langkah Hasan ibn Ali ini merupakan
langkah diplomatis yang memang sudah seharusnya ia melakukan hal tersebut.
Karena Ali sebagai symbol khalifah yang sah sudah meninggal, dan Muawiyyah
telah menyatakan kekuasaannya. Perang yang sudah berlangsung antara umat islam
sendiri mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Karenanya, langkah Hasan ibn
Ali bukan semata-mata tanpa pertimbangan yang nyata.
Pada tahun 41 H/661 M, Muawiyyah
memindahkan pusat pemerintahan-nya ke Damaskus, yang melatarbelakangi
kepindahannya adalah, bahwa Damaskus merupakan daerah yang subur dan penghasil
bahan pangan. Kondisi ini akan mendukung dalam upayanya melakukan persiapan
menaklukkan daerah luar Arab. Selain itu pula, Muawiyyah ingin sedikit
meredakan pertentangan di sekitar wilayah Arab bagian tengah, lebih tepatnya
pertentangan dirinya dengan kelompok khawarij maupun sisa-sisa pengikut Ali.
Namun yang lebih kuat adalah, bahwa dahulu semenjak ia berhasil membuat
angkatan laut, ada ambisi terpendam untuk menguasai daerah-daerah luar Arab
yang selama periode ke belakang masih dipegang oleh kekuasan Persia atau
Byzantium. Di luar jazirah Arab, masih terdapat hal-hal baru yang tidak terdapat
di jazirah Arab, itulah salah satu alasan utama kepindahan Muawiyyah ke
Damaskus.
Sebelum meninggal dalam usianya yang
ke-83, Muawiyyah telah menunjuk anaknya Yazid untuk mengantikannya sebagai
Raja, dengan demikian nyatalah bahwa konsep Negara modern yang coba dibangun
oleh Nabi Muhammad dan dikembangkan oleh para sahabatnya harus hancur di tangan
Muawiyyah, sebab konsep tadi untuk peradaban manusia pada masa tersebut terlalu
canggih dan kurang mengenal kultur yang ada. Konsep monarki hereditis ini selain
dipakai Muawiyyah untuk menguatkan posisi dirinya dan bani Umayyah juga berguna
untuk membuat umat Islam hanya berada pada satu komando, dan tentunya pemegang
komando tersebut adalah keturunannya dan sekelompok orang dari Khalifah
Umayyah.
3.
Sistem
Pemerintahan Pada Masa Dinasti Muawiyah
Memasuki masa kekuasaan Mu’awiyyah
yang menjadi awal kekuasaan bani Umayyah ini, sistem pemerintahan islam yang
dulunya bersifat demokrasi berubah menjadi monarki heredetis (kerajaan turun
temurun). Sukses kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya Yazid.
Beliau menjadikan azas nepotisme sebagai dasar pengangkatan khalifah. Hal ini
menunjukkan bahwa Muawiyah bermaksud mencontoh monarki di Persia dan Bizantium, yakni penerapan
garis-garis kepemimpinan.[9]
Perintah ini tentu saja memberikan sinyal awal bahwa kesetiaan terhadap Yazid
merupakan bentuk pengokohan terhadap sistem pemerintahan yang turun temurun
telah coba dibangun oleh Mu’awiyah. Tidak ada lagi suksesi kepemimpinan berdasarkan asas musyawarah (syura) dalam menentukan seorang pemimpin baru. Mu’awiyah
telah merubah model kekuasaan dengan model kerajaan yang membenarkan regerisasi
kekuasaan dengan cara memberikan kepada putera mahkota. Orang-orang yang berada
di luar garis keturunan Mu’awiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan
kesempatan yang sama untuk memimpin pemerintah Umat Islam, karena sistem Khalifah
hanya membenarkan satu kebenaran bahwa sukses hanya bisa diberikan kepada
keturunan dalam Khalifah tersebut.[10]
Ketika Ali terbunuh pada tahun 661,
Muawiyah memiliki pasukan paling besar dalam kedaulatan islam dan memiliki
kekuatan yang besar untuk mengklaim kekhalifahan. Putra Ali, Hasan ibn Ali,
setelah mempertimbangkan keadaan umat, memberikan hak kekhalifahannya kepada
Muawiyah dan memilih tinggal di Madinah dan pensiun. Tahun ini disebut sebagai
‘Aam Jama’ah (Tahun Kesatuan), sebab pada tahun inilah umat Islam bersatu dalam menentukan satu khalifah. Pada tahun itu pula Mu’awiyah mengangkat Marwan bin Hakam
sebagai gubernur Madinah.
Setelah terjadinya ketentraman dan
persatuan dalam kedaulatan islam, Muawiyah mulai meluncurkan kampanye militer.
Ke timur, Pasukan islam berhasil menaklukan Khurasan (663-671) dari arah
Basrah, menyebrangi sungai Oxus, dan menyerbu Bukhara di Turkistan (674). Ke
Barat, Gubernur Muawiyah di Mesir mengirim ekspedisi dibawah pimpinan Uqba bin
Nafi menaklukan Afrika Utara yang masih dikuasai Bizantium sampai Algeria. Ke
Utara, menye-rang Asia Kecil untuk melawan Bizantium. Muawiyah juga meluncurkan
serangan sebanyak 2 kali meskipun tidak berhasil untuk mengepung
Konstan-tinople yang dipimpin putranya, Yazid.
Untuk mengamankan tahtanya, dan
memperluas batas wilayah Islam, Muawiyah sangat mengandalkan orang-orang Syam
(Suriah), yang kebanyakan terdiri atas bangsa Arab Yaman dan mengenyampingkan umat
Islam pendatang dari Hijaz. Menurut riwayat, Orang-orang Syam ini sangat loyal
terhadap Muawiyah sejak beliau masih menjadi Gubernur Syam.
Sebagai prajurit, memang kualitas
Muawiyah lebih rendah dibandingkan dengan Ali bin Abi Thalib. Tetapi sebagai organisator
militer, Muawiyah berha-sil mencetak pasukan Syam menjadi satu kekuatan militer
Islam yang teror-ganisir dan berdisiplin tinggi. Dengan mengadopsi kerangka
pemerintahan Bizantium, ia membangun sebuah negara yang stabil dan
terorganisir. Para seja-rawan mencatatnya sebagai orang islam pertama yang
membangun kantor cata-tan negara dan lanyanan pos yang kelak pada masa Abdul
Malik bin Marwan menjadi sebuah lembaga yang menghubungkan berbagai wilayah
kedaulatan islam yang luas.
Selama berkuasa, kesuksesan Muawiyah
ditunjang dengan kerjasamanya dengan pendukungnya, terutama Amr bin Ash,
wakilnya di Mesir, Al Mughirah bin Syu’bah, gubernur Kufah, provinsi yang
selalu bergolak, dan Abdullah bin Abihi, penguasa Basrah. Ketiga orang ini
bersama Muawiyah disebut sebagai empat politisi ulung Arab Islam. Ziyad
digelari bin Abihi kerena ketidakjelasan identitas ayahnya. Ibunya adalah
seorang budak di Taif yang dikenal Abu Sufyan. Pada awalnya Ziyad adalah
pendukung Ali, tetapi pada saat kritis, Mua-wiyah mengakui Ziyad sebagai
saudara sahnya.
Dalam diri Muawiyah, seni berpolitik
berkembang. Ia memiliki kemam-puan luar biasa untuk menggunakan kekuatan hanya
ketika dipandang perlu dan sebagai gantinya lebih banyak menggunakan jaklan
damai. Kelembutannya yang sarat dengan kebijakan, yang ia gunakan agar tentara
meletakan senjata dan membuat kagum musuhnya, sikapnya yang tidak mudah marah
dan pengen-dalian diri yang sangat tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan.
Bagi para Khalifah Bani Umayah
sesudahnya, Muawiyah merupakan teladan dalam kelembutan, semangat, kecerdasan,
dan kenegarawanan yang berusaha mereka ikuti. Sebelum wafatnya, Muawiyah,
dengan menuruti nasehat Mughira, guber-nur Basrah mengangkat putranya Yazid
sebagai pengganti dirinya kelak. Hal ini menimbulkan kebencian kaum Syiah.
Diantara orang-orang syi’ah yang pertama kali melancarkan permusuhan terbuka
terhadap bani Umayyah adalah Hajar bin Adi. Ia mengkritik pedas Mughirah bin
Syu’bah, sang gubernur Kufah. Berhu-bung Mughirah bertipikal lemah lembut dan
pemaaf, maka ia mengingatkannuya akan akibat tindakannuya. Ketika Mughirah bin
Syu’bah wafat, Muawiyah mengangkat Ziyyad sebagai gubernur Kufah. Maka Ziyyad
mengirim surat kepada Muawiyah mengenai Hajar bin Adi. Oleh Muawiyah, Hajar bin
Adi diundang ke Syam dan membunuhnya bersama pengikut setianya.
Mengenai hal ini seorang sejarawan
muslim terkemuka yang bernama Ibnu Khaldun dalam kitabnya Mukaddimah menulis :
“Seorang imam tidak sewajarnya dicurigai meskipun dia telah melantik ayah atau
puteranya sendiri sebagai penggantinya. Dia telah dipertanggungjawabkan untuk
mengurus kebajikan kaum muslimin selagi dia masih hidup. Lebih daripada itu dia
ber-tanggungjawab untuk membasmi, semasa hidupnya (kemungkinan mewabahnya
perkara-perkara yang tidak diingini) setelah.
Hal yang sedemikian sebagai satu
contoh adalah sebagaimana yang berlaku ketikaa Muawiyah melantik puteranya,
Yazid. Tindakan itu diambil dengan persetujuan rakyat dan, karena itu, dengan
sendirinya menjadi satu bahan hujah kepada persoalan yang dibincangkan. Akan
tetapi, Muawiyah sendiri bersikap lebih menyokong puteranya Yazid dibanding
dengan calon penggantinya yang lain. Sebabnya ialah, dia lebih menitikberatkan
kepentingan umum yang menghendaki adanya perpaduan dan harmoni di kalangan
masyarakat itu, karena orang yang menguasai pemerintahan, yaitu Bani Umayyah,
pada waktu itu setuju melantik Yazid.
Tidak ada motif lain dari Muawiyah.
Hemahnya yang tinggi dan hakikat bahwa dia merupakan salah seorang dari
sahabat-sahabat Nabi mencegah keterangan yang lain-lainnya. Fakta bahwa dia
sering datang kepada para sahabat terkemuka, untuk dimintai nasihat, dan
kenyataan bahwa mereka tidak memberikan pendapat (yang bertentangan) merupakan
bukti tidak adanya kecurigaan atas dirinya. Mereka (para sahabat) tidak
termasuk orang gegabah yang mengambil keputusan dalam masalah kebenaran, dan
demikian pula Muawiyah tidak mudah seenaknya menerima kebenaran. Mereka
mempunyai peranan masing-masing dalam masalah ini, dan keadilan mereka menahan diri mereka
untuk bertindak sewenang-wenangnya.”
Mu'awiyah sendiri wafat pada tanggal
6 Mei 680. Dan digantikan putranya Yazid
bin Muawiyah. Wafatnya Khalifah Muawiyah menyebabkan armada laut Arab mundur
dari perairan Bosporus dan Aegea, sehingga untuk sementara menghentikan penyerangan
ke Konstantinopel.[11]
4.
Usaha
dan Jasa Muawiyah
Sejak pemerintahan
Mu’awiyah, Dinasti Umayyah berusaha mengadakan pengembangan dan perluasan
daerah Islam ke wilayah Timur sampai kewilayah Khurasan diperluas sampai India
. sedangkan ke barat di tujukan ke arah Byzantium beribukota Konstantinopel.
Negeri tersebut menjadi pusat agama Kristen Ortodok Yunani. Sedangkan
dengan mengerahkan armada lautnya dengan 1.700 kapal perang menyerbu pulau di
sekitar Yunani, wilayah yang berhasil dikuasai diantaranya pulau Rhodes dan
Cyprus.
Sebelum menjadi khalifah
Mu’awiyah bin Abu Sufyan telah menjadi orang penting yang memiliki jasa bagi
perkembangan Islam diantaranya :
a.
Pada
masa khalifah Abu Bakar As Siddiq, ikut berjuang keras menumpas kaum murtad dan
nabi-nabi palsu, serta orang yang tidak mau membayar zakat.
b.
Umar
bin Khattab mengangkatnya sebagai Gubernur Yordania
c.
Utsman
bin Affan mengangkatnya sebagai Gubernur Syam. Buah dari kegigihannya, beliau
berhasil meletakan dasar pemerintahan pada saat menjadi Gubernur Syam
Langkah-langkah pengembangan
Islam yang dilakukan Mu’awiyah saat menjabat sebagai khlifah diantaranya adalah
:
a.
Membuat
anjungan dalam Masjid yang berfungsi sebagai pengamanan
b.
Membentuk
pasukan
c.
Mendirikan
percetakan uang
d.
Mendirikan
Pos surat
5.
Usaha Dinasti Muawiyah Dalam Mempertahankan Kekuasaan
Langkah strategis yang dilakukan
Muawiyah setelah mendapatkan jabatan dari Hasan bin Ali pada tahun 41 H/661 M
adalah :
a.
Meminta
Pengakuan dari para pengikut Hasan bin Ali
Muawiyah bin Abi Sufyan meminta
kepada Hasan bin Ali untuk menjelaskan hasil kesepakatan yang telah dicapai
antara Hasan Bin Ali dengan Muawiyah dalam sebuah pertemuan di maskin kepada
para pendukungnya. Muawiyah berharap, dengan cara seperti ini, ia akan berhasil
menjalankan roda pemerintahan tanpa harus mendapatkan banyak perlawanan atau
penolakan dari kelompok yang kurang setuju atas hasil kesepakan tersebut.
selain itu, pelimpahan kekuasaan yang terjadi dari tangan Hasan ke tangan
Muawiyah akan terjadi semakin kuat posisi dan kedudukan Muawiyah karena
mendapat dukungan yang relatif cukup kuat dari penduduk Kufah, Basrah dan para
penduduk kota-kota lainnya.
Permohonan Muawiyah telah
disetujuinya, Hasan bin Ali kemudaia mengumpulkan para sahabat setianya di
kediaman Madain, sebelum memberikan penjelasan lebih jauh kepada para sahabat
setianya di Masjid Kufah. Di dalam pertempuran itu Hasan menjelaskan bahwa dirinya telah menyerahkan
kekuasan kepada Muawiyah dan telah mengakui Muawiyah sebagai pemimpin. Oleh
karena itu, sekali lagi lagi Hasan meminta agar mereka melakukan seperti apa
yang dilakukannya, yaitu menjadikan Muawiyah sebagai pemimpin mereka, dan jangan
sekali-kali membantahnya bila telah melakukan bai’at kepadanya.
Sebagai penegasan atas pelimpahan
khalifah tersebut, kembali Hasan bin Ali pergi ke Masjid Kufah untuk memberikan
penjelasan mengenai alasan mengapa ia mau memberikan kekuasaan kepada Muawiyah
dan mengakuinya sebagai khalifah. Setelah umat Islam berkumpul di Masjid, Hasan
bin Ali di minta oleh Amr bin Al-Ash melalui Muawiyah untuk memberikan
penjelasan kepada para sahabat setianya mengenai pristiwa yang telah terjadi di
Maskin itu. Ketika itu, hadir tokoh-tokoh penting, baik dari pihak Hasan bin
Ali maupun baik pihak Muawiyah bin Abi Sufyan. Dari pihak Hasan bin Ali hadir
antara lain, Abdullah bin Abbas, Qays bin Sa’ad, Abu Ja’far, Abu Amir, dan
lainnya. Sementara dari pihak Muawiyah hadir antara lain, ’Amr bin Al-Ash, Abu
Al-A’war Al-Sulma, ’Amr bin Sufyan.
Di dalam masjid Kufah inilah, Hasan
bin Ali memberikan penjelasan mengapa ia mau memberikan kekuasaan kepada
Muawiyah dan mau mengakuinya sebagai khalifah. Mereka bergiliran memeberikan sambutan
masing-masing. Sebelum Muawiyah meminta umat Islam mengakui kepemim-pinannya,
terlebih dahulu Hasan diminta untuk memberikan penjelasan kepada pendukung
setianya. Baru kemudian Muawiyah yang berbicara dan memberikan penjelasan
penting mengenai perjanjian perdamain yang telah di sepakati bersama antara
dirinya dan Muawiyah bin Abi Sufyan, dengan berbagai konsekuensinya. Antara
lain, mereka diminta melakukan apa yang telah di sepakati dan mentaati perintah
Muawiyah yang kini telah menjadi pemimpin mereka.
Setelah memberikan penjelasan kepada
pengikutnya, maka secara de Jure atau secara legal, Muawiyah telah menjadi
nomor satu di dunia Islam kala itu. Dengan kata lain, sejak saat itulah
berdirinaya dinasti Bani Umayyah pada tahun 661 M.
b.
Memindahkan
Pusat Kekuasaan ke Damaskus
Setelah Muawiyah memperoleh
pengakuan dari para pengikut Hasan bin Ali, maka langkah yang dilakukan
selanjutnya adalah usahanya memindahkan pusat pemerintahan Islam dari Madinah
ke Damaskus. Pemindahan ini dilakukan karena di kota itulah pusat
kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan sebenarnya. Di kota itulah para pendukung
setianya berada. Dari kota Damaskus Muawiyah mengendalikan pemerintahan dan
mengatur berbagai kebijakan politik.
Alasan lainnya Muawiyah memindahkan
pusat kekhalifahan adalah : karena Kota Damaskus memiliki letak yang sangat
strategis bagi Muawiyah untuk mengambangkan kekuasaanya ke bakas-bekas wilayah
kekuasaan kerajaan Romawi di bagian utara. Letak strategis itu tidak hanya dari
sisi politik militer, juga dari sisi ekonomi. Sebab kota Damaskus. Syiria
terletak di dekat laut Tengah (Laut Mediterania) yang merupakan jalur
perdagangan ke Eropa. Upaya yang dilakukan Muawiyah ini memang sangat
strategis. Sebab, selain alasan politik, ekonomi dan perdagangan , Damaskus
juga pernah menjadi Wilayah jajahan Romawi dan Persia. Dua kerajaan yang pernah
mempunyai masa kejayaan yang di tinggalkan di kota tersebut. Karena itu wajar
bila kemudian pada masa pemerintahan Muawiyah dan para penerusnya banyak
terjadi perkembangan ilmu pengetahuan, peradapan dan sebagainya.
Muawiyah bin Sufyan dalam usahanya
memindahkan pusat pemerintahan ke Damaskus, merupakan sebuah langkah yang tepat
ketika itu. Sebab bila tidak di lakukan dengan segera, kemungkinan ia akan
banyak menghabiskan energi dan waktu hanya sekedar untuk menghalau mereka yang
tidak senang atas kepemimpinan Muawiyah. Selain itu, kemungkinan besar ia tidak
memiliki banyak peluang untuk mengembangkan kemampuanya di dalam membangun
sebuah cita-cita diri dan kablahnya untuk menjadi penguasa tunggal di dunia
Islam.
c.
Mengangkat
Para Pejabat Gubernur
Setelah Muawiyah berhasil
memindahkan pusat pemerintahan ke Damaskus, maka langkah selanjutnya adalah
mengangkat para pejabat yang akan membantunya dalam menjalankan roda
pemerintahan. Orang-orang tersebut dipercaya untuk memangku jabatan yang amat strategis di wilayah
kekuasaan Muawiyah guna mempertahankan keutuhan wilayah dan kekuasaan yang ada.
Mereka menjabat sebagai gubernur yang tunduk di bawah kekuasaan pemerintahan
dinasti Bani Umaiyah di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Muawiyah bin Abi Sufyan sejak usia
remaja telah nampak jiwa kepemimpinannanya, beliau memiliki sifat dan kepribadian sampai pada
tingkat hilm yang terkenal dimiliki orang-orang Mekkah. Muawiyah di gambarkan
sebagai orang yang tidak mudah terpancing emosi, tidak mudah bingung, selalu
melalui pertimbangan yang masak dalam menentukan atau mengambil sebuah
keputusan. Hal ini dapat dilihat dari kebijakanya dalam mengangkat para pejabat
dan bawahanya yang akan menjadi pembantu setianyadi dalam menjalankan roda
pemerintahan. Misalnyasaja soalpengangkatan gubernur daerah yang akan menjadi
pejabat di wilayah yang berada di bawah kekuasaanya.
Muawiyah bin Abi Sufyan telah
memilih beberapa orang yang dapat memperkuat posisi kepemimpinannya. Mereka
adalah Amr bin Al-Ash, Mughirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Kedua orang
yang di sebutkan itu, Amr dan Al Mughirah bin Syu’bah, memiliki peran yang
sangat penting, baik sebelum atau sesudah Muawiyah menjadi khalifah. Sementara
Ziyad baru memainkan peran pentingnya ketika ia di beri kesempatan oleh
Muawiyah untuk menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan Bani Umaiyah,
yaitu gubernur Basrah.
Salah satu alasan Muawiyah
merangkul Amr bin Al-Ash, adalah karena ia telah memiliki kemampuan luar
biasa dalam masalah taktik dan strategi politik dan peperangan yang sebanding
dengannya. Ia kemudian di ajak kerjasama dalam mengahadapi kekuatan Ali bin Abi
Thalib, yang kemudian setelah itu diberi kepercayaan untuk menaklukan Mesir dan
setelah berhasil Amr di percaya menjadi gubernur kota itu. Setelah Muawiyah bin
Abi Sufyan berhasil mendapatkan legitimasi politik dari masyarakat luas,
khususnya para pendukung Ali dan Hasan di Kufah dan Basrah, jabatan tersebut
tetap di percayakan kepada Amr bin Al-Ash. Pemberian jabatan ini karena
Muawiyah tau persis kemampuan yang di miliki Amr dan kekuatan yang ada padanya.
Amr berkuasa sebagai gubernur selama kurang lebih dua tahun (41-43 H).
Selain merangkul Amr bin Al-Ash,
Muawiyah juga mengangkat Al-Mhugirah bin Syu’bah. Ia memiliki potensi
besar dengan dukungan masa ynag cukup banyak di kotanya. Karena itu, ketika
Muawiyah berkuasa sebagai khalifah, ia melihat Al-Mughirah sebagai seorang
tokoh potensial yang perlu di rangkul dengan jabatan strategis di wilayah
Kufah, jabatan yang pernah di dipegang selama satu tahun atau dua tahun ketika
Umar bin Khattab berkuasa yang mencakup pula wilayah Syiria. Ia mengaku jabatan
ini selama lebih kurang satu dasawarsa hingga ia wafat pada tahun 50 H. Setelah
ia wafat, wilayah kekuasaanya di gabungkan Muawiyah ke dalam wilayah
pemerintahan gubernur Ziyad bin Abihi.
Tokoh lainnya yang dianggap perlu
diangkat adalah: Ziyad bin Abihi. Dalam pandangan Muawiyah, orang seperti Ziyad
juga perlu mendapatkan perhatian dan kedudukan khusus di pemerintahan. Sebab,
Ziyad bin Abihi, meskipun sedikit memiliki pengaruh keluarga atau klan, karena
Ziyad di beritakan tidak memiliki ayah yang jelas yang kemudian orang
mengenalnya dengan sebutan Ziyad bin Abihi tetap saja menjadi orang yang di
perhitungkan oleh Muawiyah, bukan hanya karena reputasinya, juga karena dari
penelusuran silsilah atau asal usulnya, ternyata Ziyad di ketahui anak seorang
ibu yang sebenarnya budak Abi Sufyan yang berasal dari Thaif yang beralih
tangan al-Harits bin Kaldah sebelum Ziyad lahir. Karenanya, Ziyad juga sering
di sebut dengan Ziyad bin Abi Sufyan.
Pada masa khalifah Ali bin Abi
Thalib berkuasa, Ziyad di tunjuk sebagai gubernur Basrah dengan tugas khusus di
persia bagian selatan. Karenanya ketika Ali wafat, dan Hasan memberikan
kekuasaan kepada Muawiyah dalam peristiwa Am al-Jama’ah di maskin tahun 661
M/41 H, ia pindah ke persia sembunyi di sana. Hal itu di lakukan karena
ia merasa khawatir akan keselamatan dirinya karena ia telah menolak ajakan Muawiyah
agar Ziyad mau bergabung bersamanya yang telah mengakuinya sebagai saudara
seayah .
Berkat kecerdikan Muawiyah dan
kepiawaian, maka Muawiyah akhirnya mampu mempengaruhi Ziyad untuk bergabung
dengannya, bahkan Muawiyah mengikatnya dengan ikatan perkawinan antara putri
Muawiyah dengan putra Ziyad bernama Muhammad bin Ziyad. Dengan cara-cara
seperti itu, akhirnya Ziyad mau menyatakan bersedia bergabung dan secara
otomatis mengakui keberadaan khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Hal tersebut
dilakukan Muawiyah karena ia melihat potensi besar yang dimiliki Ziyad dalam
masalah kemiliteran dan keteguhan dalam mempertahankan prinsip yang
dimilikinya.
Ditempat tugas barunya inilah Ziyad menyampaikan pidato
perdananya kepada masyarakat Basrah. Pidato yang disampaikan sangat mengagumkan
dan sekaligus menggetarkan sendi-sendi orang yang berusaha menentang
kekuasaannya atau kekuasaan Muawiyah. Pidatonya itu di kenal dengan
pidatobatra, karena tidak dimulai dengan ucapan basmalah. Isi pidatonya
sangat jelas dan menelanjangi kejahatan-kejahatan penduduk Basrah. Ia
mengulurkan ancaman-ancaman keras terhadap mereka yang tidak patuh. Dalam
pidatonya itu, ia juga bersumpah kalau tidak hanya akan menghukum mereka yang
berdosa, juga menghukum tuan lantaran dosa hamba sahaya, dan seterusnya.
Diantara isi pidato Ziyad adalah sebagai berikut:
”Kebencian pada diriku tidak akan aku hukum hanya kejahatan (yang
kuhukum). Banyak yang berduka karena kedatanganku akan bergembira, dan
mereka yang berduka akan berduka. Aku datang kepada kalian atas kehendak Allah
untuk memerintahmu dan mengawasi kesejahteranmu. Maka menjadi kewajibanmulah
untuk mendengar dan mematuhikudalam hal yang kupandang baik, dan hak kamulah
untuk menuntutku agar berbuat adil dalam tanggung jawabku. Dalam beberapa hal aku
memiliki kekurangan, tetepi ada tiga hal yang aku bertekad untuk tidak
kekurangan. Aku akan mendengar permohonan-permohonanmu, bahkan jika kamu datang
mal;am hari, aku tidak akan menahan makanan dan tunjangan-tunjanganmu melewati
waktunya, dan aku tidak akan mengirim kamu ke medan perang untuk waktu yang
lama. Doakanlah kesejahteraan pemimpin-pemimpinmu, karena mereka adalah
penguasamu yang membenarkanmu dan tempetmu memperoleh pertolongan. Janganlah
hatimu dipenuhi kedengkian dan kemarahan pada mereka, karena tidak baik bagimu.
Jika kamu melihatku masalahmu dengan baik, maka berterima kasihlah. Saya
melihat di antara kamu ada banyak bangkai, hati-hatilah jangan sampai ada di
antara kamu yang akan menjadi bangkai pula.”
Mendengar pidato Ziyad tersebut, banyak
penduduk Basrah dan orang-orang yang mencoba berusaha melawannya, berdiri,
merinding dan ketakutan. Karena dengan tegas dan sangat jelas, bahwa Ziyad akan menjatuhkan hukuman kepada mereka yang
membangkang dan tidak patuh terhadap pemimpin yang telah mereka akui keberadaanya.
Selain itu, juga membawa angin segar bagi para penduduk yang mau bekerja sama
dengannya dalam membangun dan mempertahankan keutuhan wilayah Islam. Bahkan ia
berjanji akan membuka pintu rumahnya bagi mereka yang ingin menyampaikan
keluhan dan saran yang baik guna kemajuan atau kemaslahatan umat dan negara.
Pidato Ziyad yang begitu tegas dan transparan tersebut, membuat suasana jadi
tegang dan tidak memberi peluang bagi mereka yang ingin berbuat kecurangan atau
berbuat tidak adil. Bagi mereka yang mau melakukan pemberontakan, akan berfikir
ulang untuk merealisasikannya. Karena mereka tau benar siapa Zayid bin Abihi.
Ia di kenal tegas dan tidak pandang bulu ketika menjatuhkan sanksi hukum. Hal
itu dapat dilihat, misalnya ketika memperlakukan jam malam. Al-Thabary
menceritakan bahwa Ziyad pernah menjatuhkan hukum pancung pada seorang musafir
yang tertangkap pada malam hari oleh penjaganya. Padahal, musafir itu tidak
mengetahui adanya jam malam dengan adanya keluar bagi masyarakat, dan bagi
mereka yang melanggar peraturan itu, akan di hukum pancung. Oleh karena itu,
ketika musafir itu di bawah ke hadapan Ziyad, gubernur itu mengintrograsinya.
Ziyad bertanya : apakah engkau tidak mengetahui (mendengar) adanya peraturan
pelanggaran adanya jam malam? Musafir itu menjawab. Demi Allah, aku tidak
mendengarnya. Aku seorang musafir yang kemalaman, karena itu aku berhenti di
padang pasir menuggu datangnya fajar subuh, dan aku tidak tau adanya larangan
keluar malam. Ziyad menjawab: ”Aku kira egkau benar, tetapi demi kemaslahatan
rakyat, engkau harus dibunuh.”
Ziyad merupakan sosok pemimpin yang
tegas dan tidak plin-plan. Ia teguh mempertehankan prinsip dan semuanya itu
dilakukan untuk menegakkan peraturan yang telah dikeluarkan. Dengan kata lain dapat
di katakan bahwa ketegasan yang di perlihatkan oleh Ziyad sebagai seorang
penguasa lokal dan wujud dari seorang khalifah yang berkuasa, justru menjadi
momen penting dan bahkan sangat kondusif untuk membangun citra pemerintahan
Muawiyah di daerah Basrah dan sekitarnya, sehingga mereka yang ingin berlaku
macam-macam untuk melanggar atau menentang kekuasaanya, akan berhadapan
denganya dan hidupnya akan berakhir di ujung pedang.
Muawiyah selain memberikan jabatan
kepada tiga tokoh di atas juga memberikan jabatan kepada Marwan bin Al-Hakam
untuk diangkat menjadi gubernur Madinah, Mekkah dan Tha’if. Marwan memegang
jabatan itu hingga Muawiyah wafat pada tahun 680 M. Di antara alasan mengapa
Muawiyah memberikan jabatan itu kepada Marwan adalah karena Marwah masih
saudara sepupu Muawiyah yang telah banyak memberikan Investasinya untuk
mendudkung gerakan Muawiyah memperoleh posisi penting dalam dunia Islam menjadi
nomor satu, terutama pasca kematian khalifah Usman dan perjalanan karier
politik Muawiyah bin Abi Sufyan.
Kecerdasan Muawiyah bin Abi Sufyan
sebagai seorang pemimpin politik nampak dari strateginya dalam merekrut
tokoh-tokoh penting yang memiliki pengaruh dan daerah kekuasaan sebagaimana
para tokoh-tokoh di atas. Dengan mengangkatnya beberapa tokoh di atas, maka
posisi Muawiyah sebagai seorang pemimpin semakin kuat.
C. KESIMPULAN
Dengan bertolak dari pembahasan terdahulu, maka dapat
disimpulkan bahwa, yang menjadi cikal bakal terbentuknya Dinasti Umayah adalah
dengan adanya arbiterase yang dimenangkan Mu’awiyah. Dengan terbunuhnya ‘Ali,
memberikan peluang yang besar bagi Mu’awiyah untuk memproklamirkan diri sebagai
khalifah.
Jadi kekuasaan Mu’awiyah berawal dari kekuasaan Dinati
Umayah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi sistem pemerintahan
yang monarchy heredities (kekuasaan turun temurun). Kekuasaan
Daulah Umayah berlangsung dalam kurun waktu selama 90 tahun, dengan sejumlah
kemajuan yang berhasil dicapainya, dan salah satu di antaranya adalah dalam
bidang politik. Kekuasaan Mu’awiyah
mendirikan Dinasti Umayah, bukan hanya diperoleh dengan kemenangannya melalui
arbiterase yang licik, tetapi juga mendapat dukungan dari rakyat Syiria dan
keluarganya yang memiliki kemampuan yang menonjol sebagai negarawan sejati.
DAFTAR PUSTAKA
http//.www.wordpress.com. Tinjauan Kritis
Terhadap Fase-Fase Peradaban Islam. Diakses Pada 04 Okt 2016
Bernard lewis, 1994,
Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, pent. Said jamhuri Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya.
Ahmad Amin, Husayn, 2001, Seratus Tokoh Dalam Islam, ed.
Cucu Juanda, Bandung: Rosda Karya.
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam II, pent. Mukhtar Yahya (Jakarta: Al Husna
Dzikra, 200), hal. 48
Samsul Nizar, Sejarah pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana
prenada media Group, tt).
A. Syalabi, 2000, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, pent. Mukhtar Yahya, Jakarta: Al Husna
Dzikra.
Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, 1951,
As-Syiyasah As-Syar’iyah fi Islah Ar-Ra’iyah, (Mesir, Darul Kitab al-Gharbi.
Muhammad Suhaidi RB, Khalifah
Bani Umayyah, Perkembangan Politik, Gerakan Oposisi, Perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Kejatuhan Khalifah, http://deemuhammad. blogspot.com, Diakses Pada 05 Oktober 2016
Lihat, Muawiyah Bin Abi Sufyan Sejarah Islam, http://paradigmakaumpedalaman.
blogspot. co.id, Diakses Pada
04 Oktober 2016
Fitri, 2015, Usaha dan Jasa Muawiyah bin Abu Suyan, fhttp://tantifitriasridianti.
blogspot.co.id, Diakses Pada 04 Oktober 2016
[1] http//.www.wordpress.com. Tinjauan
Kritis Terhadap Fase-Fase Peradaban Islam. Diakses Pada 04 Okt 2016
[2] Bernard lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah,
pent. Said jamhuri (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994) hal. 33
[3] Ungkapan ini seelanjutnya terkenal
dengan nama rambut Muawiyyah, lih. Ahmad Amin, Husayn, Seratus Tokoh Dalam Islam, ed.
Cucu Juanda (Bandung: Rosda Karya,2001) hal. 26.
[4] Keluarga Sarjun adalah pemeluk
nasrani, secara turun temurun tuga mengelola bait al-mal diserahkan kepada
mereka. Muawiyyah menikahi Masyun, seorang perempuan nasrani, dari perempuan
ini kemudian lahirlah Yazid, yang menjadi raja setelahnya. Lih, Ahmad Amin,
Husayn…hal. 26
[5] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam II, pent. Mukhtar Yahya (Jakarta: Al Husna
Dzikra, 200), hal. 48
[6] Samsul Nizar, Sejarah pendidikan Islam, ( Jakarta: Kencana
prenada media Group), hal. 55
[7] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, pent. Mukhtar Yahya (Jakarta: Al Husna
Dzikra, 200) hal. 273
[8] Ibid, hal. 306
[9]
Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, As-Syiyasah
As-Syar’iyah fi Islah Ar-Ra’iyah, (Mesir,
Darul Kitab al-Gharbi, 1951), hal. 42
[10] Mohammad Suhaidi RB, Khalifah
Bani Umayyah, Perkembangan Politik, Gerakan Oposisi, Perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Kejatuhan Khalifah, http://deemuhammad. blogspot.com, Diakses Pada 05 Oktober 2016
[11] Lihat, Muawiyah Bin Abi Sufyan Sejarah Islam, http://paradigmakaumpedalaman.
blogspot. co.id, Diakses Pada
04 Oktober 2016
[12]
Fitri, 2015, Usaha dan Jasa Muawiyah bin Abu Suyan,
fhttp://tantifitriasridianti. blogspot.co.id, Diakses Pada 04 Oktober 2016
TERIMAKASIH SUDAH MENGUNJUNGI BLOG SAYA, JANGAN LUPA DI SHARE AND DI LIKE YHA TEMAN....
Komentar
Posting Komentar