BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang mulia. Kesuciannya tidak tercemari sedikitpun oleh campur tangan makhluk. Kemuliaannya tidak mampu di tandingi oleh semua kita yang ada di muka bumi ini.walaupun seluruh makhluk berkumpul membuat rekayasa untuk membuat tandingan dengan Al-Qur’an nisya mereka tidak akan mampu membuatnya.
Tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk dapat menafsirkan ayat Al-Qur’an yang luhur dan yang mulia. Untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an seseorang harus mempuanyai seperangkat ilmu yang cukup sehingga ia dapat menggali dan megurai ayat-ayat tersebut.

B. Rumusan
Setelah kita baca sekilas tentang pengantar makalah ini, maka dalam makalah ini akan membahas beberapa ayat Al-Qur’an sebagaimana yang telah dirangkum oleh dose pembimbing mata kuliah ini.
1.    Al-Maidah, ayat 6.
2.    Annisa, ayat 43.
3.    Al-Ankkabut, ayat 45.
4.    Al-Baqarah, ayat  3.
5.    Al-Jumu’ah, ayat 9.
6.    Al-Isra’, ayat 79.

C. Tujuan
Dalam makalah ini akan menafsirkan beberapa ayat suci A-Qur’an sebagaiman yang telah disebutkan diatas, supaya kita mengerti dan mengetahui bagaimana penjelasan ayat tersebut, biar kita tidak salah menafsirkannya.

BAB II
PEBAHASAN

A. AL-MA’IDAH. Ayat 6
                                                                
“hai orang-orang yag berima,apabila kamu hendak  mengerjakan solat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai denga siku,dan sapulah kepalamu  dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jik kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan  atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh  perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah denga tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak meyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Pengertian secara umum
Ketahuilah, bahwa antara hamba dengan tuhanya ada dua perjanjian;
1). Janji ketuhanan dan berbuat baik, dan
2). Janji kehambaan dan ketaatan.
Stelah allah swt. Menunaikan janji  pertama kepada hamba-nya, dan meneragkan apa yang  halal dan apa yang  haram dari kelezatan hidup, berupa makanan dan perkawinan, maka dituntut oleh-nya hamba nya itu untuk menunaikan janji yang kedua, ialah salat. Salat tidak mungkin didirikan selain dengan bersuci (taharah). Maka, tak heran jika allah kemudian mulai menerangkan fardu-fardu wudu;
Kemudian setelah allah menerangkan kepada kita beberapa hukum yag berkaitan dengan adat dan ibadat, maka dia peringatka kita akan janji-ya yang telah dia ikat dengan kita, yakni yang wajib kita tunaikan dalam bentuk mendengar da taat kepada-nya dan kepada rasul-nya, denga menerima agama-nya yang hak, agar kita laksanakan dengan sepenuh hati.

Pejelasan
      
Hai orang-rang yang beriman, apabila kamu hendak menunaikan salat, maka basuhlah.......dan seterusnya.
          Diartikan demikian, adalah berdasarkan firman allah ta’ala:
فاذا اقرأت القرأن فاستعذ باالله منالشيطن الرجيم أردت قراته
Yang diartikan
“apaila kamu hendak membaca al-qur’an ..... (dan seterusnya)”.(an-nahl,16:98).
Menurut jumhur umat islam, bahwa bersuci itu tidak wajib atas orang hendak melakukan salat, kecuali  kalau dia hadas.
Jadi maksut ayat, apabila kamu hendak mengerjakan salat, sedang kamu berhada, maka basuhlah .... dan seterusnya.
Taqyid seperti ini disimpulkan dari sunnah amalih pada masa permulaa islam. Menurut hadis buraidah yang diriwayatkan oleh imam ahmad da ashabus-sunan, ia mengatakan:
“adalah nabi SAW. Berrwudu’ tiap-tiap hendak melakukan shalat. Ketika terjadi peristiwa fathu makkah, beliau berwudu’ dan mengusap sepasang sepatunya kemudian melakukan salat berkali-kali dengan stu wudu’. Maka, umar menegur beliau, “ya rasullullah, sesunguhnya anda melakukan sesuatu yang belum pernah anda lakukn. Maka,  jawab nabi, “sengaja aku lakuka ini hai umar.”
Dalam pada itu, al-bukhari dan ashabus-sunan meriwayat dari amr bin ibnu amir al-ansari, sya pernah mendengar anas bin malik berkata:
“Adalah Nabi saw. Berwudu’ pada setiap hendak melakukan shalat. Kata ibnu Amir, “Tewas tuan-tuan sekalian, apakah yang tuan-tuan lakuka?” Jawab Annas, “ kami shalat berkali-kali dengan satu wudhu’, selagi kami belum hadas.”
Sedangkan menurut hadis yang diriwayatkan secara ma’ruf oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah:
Allah takkan meneriam shalat seorang dari kalian apabila dia teah hadas kecuali dia berwudhu’.
Berita-berita tersebuidak mesti berwudhuk diatas menunjukkan, bahwa kaum muslimin dimasa nabi SAW. Tidak mesti berwudhuk tiap kali hendak sembahyang, sekalipu nabi SAW, sendiri lebih sring berwudhuk tiap kali hendak shalat, dan pada hari pembukaan mekkah beliau melakukan berkali-kali shalat  sebagai imam hanya melakukan sekali wudhuk, sebagai keterangan bahwa itupun tak apa dia lakukan.
(الغسل) Al-Ghusl (mencuci, mndi) ialah mengalirka air atas sesuatu untuk menghilangkan kotoran atau lainnya yang ada padanya.
    (الوجوه)     Al-wujuh :jamak dari wajh (wajah). Adapun batas-batasnya, memanjang adalah dari pucak permukaan kening sampai kebagian paling bawah dari dagu, dan melebar adalah dari kuping telinga.
     الأيدي Jama’ dari yad (tangan), dan batas-batas dalam wudhu’ adalari ujung jari sampai siku, yang merupakan pangkal ziraq dan ujung lenga atas (‘adud).
 ومسحوا برؤسكم
    الرأس Kepala dan yang boleh diusap dari padanya adalah bagian selain wajah. Namun, para fuqaha di berbagai kota berbeda pendapat mengenai ukuran minimal yang seharusnya mencapai kefarduan mengusap kepala. Menurut As-Syafi’i, dalam hal ini cukup dengan mengusap seutas rambut, selama sudah dikatakan mengusap.
Sedangkan imam Malik berkata : “seluruh kepala wajib di usap, untuk ihtiyat (berhati).
Lain lagi Abu Hanafiah, beliau hanya mewajikan mengusap seperempat saja dari kepala. Karena, yang melakukan dengan mengusap yaitu di lakukan dengan telapak tangan. Sedangka telapa tangan itu, pada hanya umumnya hanya dapat meratai kira-kira seperempat bagian kepala. Lain dari itu, ada yang mengatakan, “Bahwa Rasulullah SAW, berwudhu’ dengan mengusap jambulnya. Dan ukuran ubun ubun kira-kira seperempat kepala.
وارجلكم الىالكعبين
Dua mata kaki, yaitu dua tulang yang tampak menonjol di kiri dan kanan persendian betis.
Maksudnya ayat, dan basuhlah kakimu sehigga dua mata kaki mu. Hal ini didukung oleh Nabi SAW, sendiri dan para sahabat beliau, di samping banyak pendapat para iamam mazhab.
وان كنتم جنوبا فاطهروا
Al-Junub, adalah kata yang di pakai sebagai mufrad, musanna dan jamak. Juga sebagai muakkar dan muannas. Sedang yang dimaksud ialah hubungan kelamin atau persetubuhan.
Maksud ayat, dan apabila kalian melakukan persertubuhan (janabat) sebelum mengerjakan shalat, kemudinn kamu hendakmelakukannya, maka bersucilah dulu dari janabat itu dengan membasuh sekujur badan sebelum kamu memasuki shalat yang kamu kehendaki itu.
وان كنتم مرضئ
Kalau kamu sakit, yakni sakit kulit umpamanya, seprti cacar, kudis koreng, luka dan penyakit kulit lainnya, atau sakit apa saja yang menyulitkan atau berbahaya kalau kena air.
او عل سفر
Atau kamu dalam perjalanan jauh dan dekat, yang apapun alasannya, yang dalam perjalanan itu biasanya sulit melakukan wudhu’ dan mandi.
او جأ احدكم منكم من الغأئط
Al-Ghai’it, tempat atau tanah yang rendah. Sedangkan menurut syara’ adalah buang air besar atau kecil.
Maksud ayat, atau kamu berhadas dengan hadas yang mewajibkan wudhu’ ketika hendak melakukan shalat da sebagainya, seperti tawaf yaitu hadas kemudian disebut hadas kecil.
او لمستم النساء
Yang dimaksud mulamasah disini adalah bersentuhan, yang sama-sama dilakuka oleh dua belah pihak, laki-laki dan perempuan (senggama, pen).
Maksud ayat, atau kamu berhadas dengan hadas  yang mewajibkan mandi, yakni hadas besar.
فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وايديكم منه
Apabila kamu megalami salah satu ketiga keadaan tersebut diatas, yakni sakit, berpergian atau ketiadaan air ketiak kamu memerlukannya untuk melakukan salah satu dari wudhu’ ata mandi, maka tujulah tanah atau suatau tempat permukaan tanah tampa najis, lalu pukulkanlah kedua telapak tanganmu padanya, kemudian usapkan pada wajahmu dan kedua tanganmu sampai pergelangan tangan, sehingga bekas tanah itu mengenai tangan.
مايريدالله ليجعل عليكم من حرج
    Allah tidak menghendaki dalam syari’at yang Dia syari’atkan kepadamu dalam ayat ini maupun ayat lain, suatu kesulitan pun, yakni suatu kesempitan, betapa pun remeh, sukar atau ringannya. Karena, Allah ta’ala tidak memerlukan kamu, dan maha penyayang kepadamu. Maka Dia tidak memberikan syaria’at kepadamu selain yang memuat kebaikan dan mamfaat untukmu.  
ولكن يريد ليطهر
    Akan tetapi, Dia hendak membersihkan kamu dari kotoran, kehinaan, kemungkaran dan kepercayaan-kepercayaan yang rusak. Sehigga, Kamu menjadi umat yang bertubuh paling bersih, berjiwa palig suci, paling sehat badan dan palig tinggi ruhaninya.
وليتم نعمته عليكم
    Dan agar Dia sempurnaka nikmat-Nya bagimu. Maka, disyari’atkan kedua-duanya kepadamu, yakni taharah jasmani dan taharah ruhani. Karena manusia, di samping ruhani juga jasmani. Dan salat salat itu berfungsi sebagai pembersih ruhani dan menyucikan jiwa, karena salat iu mencegah manusaia dari melakukan kekejian dan kemungkaran, di samping membisakan si musalli untuk tetap waspada (muraqabah) terhadap Allah secara rahasia maupun tarang-tarang, dan takut kepada-Nya ketika melakukan kesalahan dan berharap kepada-Nya ketika berbuat kebajikan.
    Sedang taharah yang Allah jadikan sebagai syarat diperobolehkannya melakukan salat dan mukaddimahnya, adalah berfungsi sebagai pebersih jasmani dan pemberi semangat.
    Dengan demikian, mempermudah pelaksanaan ibadah dan lain-lain. Sungguh, betapa agung nikmat Allah atas hamba-hamban-Nya, dan betapa wajibnya orang yang mendapat petujuk-Nya untuk senantiasa bersyukur kepada-Nya. Dan oleh karnananya Dia akhiri ayat yang mulia tersebut di atas dengan firman-Nya:
لعلكم تشكرون
    Denagan semua yang tersebut di atas itu, Alah hendak mempersiapkan kamu hingga senantiasa bersyukur atas segala nikmat itu, baik yang kelihatan nyata maupun yang tidak kelihatan.




B. ANNISA, ayat 43
             •                                •    • 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapakan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam keadaan musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu…”
Sebab turun ayat ini menurut keterangan yang diriwayatkan Abdullah bin Hamid, Abu Daud, Tarmizi, Nasa’I, Ibnu Jarir, Ibnu Munzir, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dari Ali bin Abi Thalib, dia berkata:
“Abdul Al-Rahman telah mengundang kami. Ia menyediakan makanan untuk kami dan dihidangkannya pula khamar. Ketika pengaruh khamar itu semakin tersa di kepala kami, datanglah waktu shalat. Mereka memajukan saya untuk menjadi iman. Saya menbaca “Qulya ayyuhal kafirun, a’budu ma ta’budun wa nahnu na’budu ma ta’budun wa na’budu ma ta’budun”. Maka Allah menurunkan ayat ini. (Perhatikan terdapat kesalahan besar dalam membaca ayat tersebut).
Perlu kami jelaskan disini, bahwa ada riwayat lain mengenai sebab turun ayat ini yanh tidak kami terangkan pada panjang lebar, hanya semuanya sama maksutnya yaitu , sebelum ayat ini di tirunkan, parasahabat masih saja meminum khamar, maka setelah turun, mereka tidak lagi minum khamar itu hendak melaksanakan salat.
‘‘La taqrabu as-shalata’’(jangan kamu hampiri shalat) menurut keterangan ahli bahasa ‘‘takrabu’’ itu berasal dari kata ‘‘qarbu’’ artinya, memasukkan pedang ke dalam sarungnya. Maka ‘‘la taqrabu as-shalata’’ ialah jangan kamu laksanakan shalat. Kalau di baca ‘‘la taqrabu’’ maka jamaah mufassirin, seperti imam abu Hanafiah menafsirkannya, jangan kamu memasuki salat . syafi’i dan lain mengartikan ‘‘shalat’’ dengan tempat salat, yaitu mesjit. Sebab itu ayat ini menurut mereka berarti, jangan kamu hampiri mesjid. Adapun kaum lain yang memahami kata ‘‘shalat’’. Imam syafi’i  dan lain-lain telah menguatkan pen-dapat mereka bahwa ‘‘shalat’’  dalam ayat ini adalah ‘‘tempat shalat’’ atau masjid, karena sehubungan ayat berbunyi.
 ولا جنبا الا عا ببري سبيل
‘‘dan tiak pula orang yang berjunub, kecuali melintasi jalan’’. 
Tegasnya jangan orang yang berjunub menghampiri mesjid kecuali hanya melintasi mejid.adapun larangan muncul ialah karena pada mulanyan segala pintu rumah sahabat di sekelilingi  mesjit berhadapan dengan mesjid. Kalau mereka hendak masuk ke rumahnya,lebih dahulu mereka melintasi mesjid atau diam di dalam mesjid. Menurut riwayat aisyah, pada stuhari nabi Muhammad SAW.berkata pada mereka. ‘‘Palingkan pitu rumah dari mesjid’’.berapa lama kemudian beliyau masuk ke mesjid dan di lihatnya pintu rumah mereka  itu masih belum di palingkan dari mesjid,karena mengharapkan kelonggaran .maka nabi Muhammad SAW. Pergi menemui mereka itu dan berlata. ‘‘palingkanlah pintu rumah ini semuanya sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid ini untuk orang haid dan orang junub’’.
Menurut riwayat dikecualikan rumah Abu bakar , dan menurut riwayat lain , rumah Ali bin Abi Thaleb . Menurut Abu Mas’ud , Ikrimah , Nakha;i ,Amru bin Dinar , Malik , dan Syafi’i ,maksud ayat ini ialah ,”jangan kamu menghampiri masjid sedang kamu dalam keadaan junub kecuali melintasinya “. Adapun orang yang mengerti  “shalat” dengan makna “shalat” dan mengertikan (عابري سبيل) dengan “musafir,”menafsirkan ayat ini , tidak sah orang junub menghampiri shalat (mengerjakan shalat) sebelum dia mandi , kecuali orang musafir dibolehkan melakukan tayamum. Demikian qaul , Ibnu Abbas , Ibnu Zubir ,Mujahid , Hakim dan lain- lain.
Kalau kita memperhatikan di antara dua qaul ini, yaitu qaul Ali yang mengatakan “shalat” itu dengan makna hakiki dan qaul Ibnu Abbas yang mengatakan “shalat” itu dengan makna majasi, yaitu tempat shalat , tentu lebih kuat qaul yang pertama yang memakai makna hakiki, tetapi ada kelemahannya, yaitu dalam mengertikan (عابري سبيل)dengan makna “musafir” Sehingga dipaksakan menaruh atau menakdirkan ada kalimat lain, supaya sesuai dengan maksud ayat, yaitu, “orang yamg junub dalam perjalanan ,jika tidak ada memperoleh air, hendaklah melakukan tayamum.”
Qaul yang kedua, kekuatannya terletak pada tidak memaksakan untuk menakdirkan tambahan kalimat lain guna menyesuiakan maksud ayat, sedang kelemahannya terletak pada mengertikan “shalat “dengan makna majasi yaitu “tempat shalat“. Selain dari itu qaul yang pertama dikuatkan dengan sebab turun ayat, yaitu di larang menghampiri shalat sedamg keadaan mabuk .Kelemahan dalam mengerti “abiri as-sahil”dengan makna “musafir”sedang hokum shalat orang musafir yang ketiadaan air telah di terangkan Allah pada ayat yang lain .Demikian keterngan Ibnu jarir sesudah mengemukakan dua qaul tersebut.
Sebagia hasil dari dua qaul ini , Ibnu Jarir telah memilih tafsir ayat ini  dengan berkata,”Wahai orang yang beriman !janganlah kamu hampiri masjid untuk shalat didalam sedang kamu mabuk sehingga kamu mengetahui apa yang kamu katakana dan jangan kamu hampiri juga ketika berjunub sehingga kamu mandi , kecuali melintas . Ibnu Kasir memperkuat pendapat Ibnu Jarir dengan mengatakan ,”Itulah qaul Jumhur dan makna yang zahir dari ayat itu
 “Dengan jika sakit atau dalam perjalanan atau salah seorang dari padamu datang dari buang air (wc) atau kamu telah menyentuh perempuan.”Berbagai macam keterangan ahli mengenai tafsir ayat ini. ”sakit” ialah keadaan badan seseorang tidak menurut biasanya dan perasaan badan itu berubah, dan sakit dad dua macam, yaitu ringan dan berat .Maka yang di maksud dengan sakit dalam ayat ini ialah seseorang yang takut memakai air kerena akan member mudarat bagi dirinya. atau memperlambat sembuh penyakitnya, atau takut memakai air karena memberi cacat kepada kulitnya, atau dia lemah mngambil air yang akan digunakanyan, karena jauh tempat atau sukar sekali mengambilnya.
Boleh melakukan tayamum bagi orang yang sedang dalam perjalanan, baik perjalanan dekat maupun jauh. Demikian keterangan sebagai lagi memberikan syarat, perjalanan yang jauh, dan masalah ini telah dibicarakan dengan panjang lebar dalam kitab-kitab fikih.
Ulama telah ijimak dengan mengatakan, bertayamum itu dibolehkan bagi orang musafir ,dan mereka berbeda pendapat  menyangkut orang mukim, yaitu orang yang tidak mengadakan perjalanan. Imam Malik dan para sahabatnya ,juga Abu Hanafiah dan Muhammad mengatakan, boleh bertayamum bagi orang musafir dan orang mikim karena ketiadaan air. Syafi’i berkata, ”bolehnya bertayamum itu hanya bagi orang musafir, dan orang mukim yang takut memakai air.”

C. Al-ANKKABUT, Ayat 45.
                           
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Sehubungan dengan firman Allah, “Dan mengingat Allah itu lebih berharga,” Ibnu Abi Hati meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Ingat kepada Allah saat menghadapi perkara yang di haramkannya.” Ibnu Abbas juga menafsirkannya dengan “peringatan Allah terhadapmu adalah lebuh berharga dari peringatan mu atas Nya.”
Firman Allah Ta’ala, “Dan katakanlah, ‘kami telah beriman dengan apa yang telah diturunkan kepada kami dan yang di turunkan kepada mu.” Apabila mereka mengimformasikan sesuatu yang tidak kita ketahui kebenaran atau kebohongannya, maka kita tidak boleh mendustakannya karena boleh jadi ia benar, juga tidak boleh membenarkannya siapa tahu informasinya salah. Namun, kita percaya saja kepada berita itu secar global dan bersyarat. Artinya, kita percaya kitab itu diturunkan oleh Allah, tidak berubah dan tidak di tafsirkan sesuka hati.
Dan hendaklah dicamkan bahwa pada pada umumnya apa yang mereka katakan itu bahwa kebohongan belaka, karena kitab itu telah disusupi perubahan, peyimpangan, penukaran, pergantian dan penakwilan. Alangkah sedikitnya isi kitab yang masih benar dan alangkah sedikitnya faedah yang tersisa, kalau ia benar.
Ibu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dia berkata: janganlah kamu bertanya kepada Ahli kitab mengenai apapun, karena mereka tidak akan munjukkan mu. Mereka benar-benar telah sesat, baik mendustakan kebenaran ataupun mebenarkan yang batil.

D. AL-BAQARAH, Ayat 3.
        
“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.
[yu’minu bil ghaibi] Percaya kepada yang ajaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu "yang maujud" yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, Malaikat-Malaikat, Hari akhirat dan sebagainya.
[ wayu qimunash  shalata ] Shalat menurut bahasa 'Arab: doa. Menurut istilah syara' ialah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. Mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu', memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya. Rezki: segala yang dapat diambil manfa'atnya. Menafkahkan sebagian rezki, ialah memberikan sebagian dari harta yang telah direzkikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang disyari'atkan oleh agama memberinya, seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anak-anak yatim dan lain-lain.
[ wa mimma razaqna hum  yumfiqun] Mereka memgimfa’kan dari sebagian harta yang di berikan oleh Allah Ta’ala kepada dalam bebtuk mengeluarkan zakat, membelanjakannya untuk keperluan sendiri, istri, anak-anak, kedua orang tua, dan bersedekah kedua faqir miskin.

D. AL-JUMU”AH, Ayat 9
                        
Hai orang-orang yag beriman , apabila diseru untuk beriman pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamj mengetahui.
Ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan dengan panggilan pada hari jum’at itu adlah Azan, ketika khatib telah naik keatas mimbar dan akan memulai akan mengucapkan khutbahnya.
Pada zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar, azan jum’at dilakukan hanya satu kali, yaitu setalah khatib naik keatas mimbar. Diriwayatkan oleh zuhri dari Saib Bin Zaif, dia berkat: “tidak ada dizaman Rasulullalah SAW. Melainkan seorang muazin saja yang mengumandangkan azan ketika rasulullah SAW. telah  naik keatas mimbar, kemudian qamat setelah beliau turun. Demikian juga yang dilakukan abu bakar dan umar.
Dizaman usman karena orang telah bertambah banyak, maka ia menambah azan itu. Menurut yang telah diriwayatkan dari salaf, mereka tidak menyetujui tambahan azan pertama itu, yaitu azan sebelum khatib naik keatas mimbar. Wafi’ mengatakan, bahwa dia menerima keterangan dari usman  bin al-gar. Wafi’ berkata, “telahkutanyakan tentang azan pertama pada hari jumat, “maka dia menjawab, “ibnu umar mengatakan, bahwa itu adalah bid’ah dan bid’ah itu adalah sesat, walaupun orang banyak memandang hal itu baik.”
فاسعوا الى ذكرالله وذرول البيع ذلكم جير
 “ Maka bersegeralah kamu kepada mengigat allah,”
Menurut bukhari, diperintahkan segera mengingat allah .Mengingat allah itu adalah pengajaran iman .Umar bin Khattab berkata,”Shalat jumat itu di qasar, karena adanya dua khotbah.”
Diriwayatkan dari jamaah salaf seperti Hasan, ibnu sina, thawus, Ibnu Zubair dan lain-lain bahwa apabila tidak di bacakan khotbah, maka mesi shalat sebanyak empat rakaat. bagaimanakah salah seorang yang tidak mendengarkan khotbah, hanya mengerjakan shalat jumat saja? Menurut riwayat dari Atha’bin Ribah, seorang yang tidak turut  mendengar khotbah, maka dia shalat zuhur .Demikian juga yang telah diriwayatkan oleh sufyan bin Abu Majid dari Atha’dan thawus. Syafi’I dan lain-lain berpendapat bahwa shalat jumatnya itu sah walaupun dia mendapat satu rakaat bersama imam. Diriwayatkan dariAbdullah bin mas’ud, Ibnu umar, Anas, Hasan, Ibnu Musaiyyab, Nakha’I dan sa’bi bahwa mereka berkata, ”Apabila ia mendapatkan satu rakaat jumaat, maka hendaklah ditambah satu rakaat lagi. ”Telah diriwayatkan oleh Zuhri dari Abu salamah dan Abu Hurairah  bahwa Nabi Muhammad SAW. Bersabda, ”barang siapa mendapat satu rakaat jumat,hendaklah dia menambah rakaatnya yang lain. Barang siapa yang luput dua rakaat baginya, hendaklah dia shalat empat rakaat (hadist sahih).”
“Dan tinggalkanlah jual beli,” ayat ini diturunkan karena mereka meninggalkan Rasullah SAW .ketika beliau sedang membaca khotbah jumat. Mereka pergi menyongsong kafilah yang membawa  barang dagangan dari syam. Meskipun larangan itu hanya ditunjukan kepada jual beli, tetapi itu tidak berarti bahwa pekerjaan lain dapat di kerjakan ketika khatib sudah naik ke atas mimbar. Disebutkan hanya jual beli karena hanyan demikian yang terjadi di zaman Rasul, sedang larangan itu meliputi juga terhadap pekerjaan lain, seperti bertani sebagainya.



E. AL-ISRA’, Ayat 79.
            
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.
Ayat yang lalu menjelaskan betapa besar gangguan dan rencana makar kaum musyirikin. Allah menyelamatkan Rasul saw. Untuk meraih dan mempertahankan anugerah pemeliharaan Allah itu, ayat ini menuntut Nabi saw. dan ummatnya dengan menyatakan bahwa; laksakanlah secara bersinambung, lagi sesuai dengan syarat dan sunnah–sunnahnya semua jenis shalat yang wajib dari sesudah matahari tergelincir yakni condong dari pertengahan langit sampai muncul gelapnya malam. dan laksanakan pula seperti itu Qur’an/bacaan di waktu al-Fajar yakni shalat subuh. sesungguhnya Qur’an/bacaan di waktu al-fajar yakni shalat subuh itu adalah bacaan yakni shalat yang di saksikan oleh para malaikat .Dan pada sebagian malam bangun dan bertahajjudlah dengannya yakni dengan membaca al-qur’an. dengan kata lain lakukanlah shalat tahajud sebagai sesuatu ibadah tambahan kewajiban, atau sebagai tambahan ketinggian derajat bagimu, mudah-mudahan dengan ibadah-ibadah ini tuhan pemeliharan dan pembimbingmu mengangkatmu di hari kiamat nanti ke tempat yang terpuji.
Di samping yang penulis kemukakan di atas tentang hubungan  ayat ini, dapat juga di tambahkan bahwa penempatan ayat ini pada surah al-Isra‘ sungguh tepat, karena dalam peristiwa itu Nabi saw dan umat islam di perintahkan untuk melaksanakan lima kali shalat wajib sehari semalam, sedang ketika itu penyampaian Nabi saw. Baru bersifat lisan dan waktu–waktu pelaksanaaannya pun belum lagi tercamtum dalam al-Qur’an.
Kata ‘asaa  biasa digunakan dalam arti harapan, tetapi tentu saja harapan tidak menyentuh Allah SWT, karna harapan mengandung makna ketidak pastian, sedang tidak ada sesuatu yang tidak pasti bagi-Nya. Dalam konteks ayat ini, Rasulullah SAW, diperintahkan untuk melaksanakan tuntutan diatas, disertai dengan harapan kiranya Allah menganugerahkan beliau  maqaman mahmudan.
Kata maqaman mahmudan dapat berarti kebangkitan yang terpuji, biasa juga ditempat yang terpuji. Apapun yang anda pilih kedua kata ini benar dan akhirnya bertemu. Ayat ini tidak menjelaskan apasebab pujian dan siapa yang memuji. Ini berarti bahwa semua pihak yang memujinya, termasuk semua makhluk, makhluk memuji karena mereka merasakan keindahan dan mamfaat yang mereka peroleh bagi diri mereka.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan.
Jadi, sehubungan dengan pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa lebih banyak membahas tentang ibadah terutama tentang shalat, bagaimana cara melakukannya dan bagaiman pendapat para ulama dan bagaimana perintah Allah kepada kita supaya kita selalu dekat dengannya.
Peringatan Allah lebih berharga daripada peringatan kita atas Nya. Apapun yang kita lakukan tidak berpengaruh dengan Nya, jika kita melakukan yang baik tidak akan mendapat keberuntungan bagi Nya, dan jika kita berbuat buruk tidak pula mendapat kemudhratan bagi Nya.

B. Saran.
Dengan mengetahui akan penafsiran ayat diatas semoga kita lebih bersemangat dalam beribadah, dan kita tidak  mengharapkan balasan atas segala sesuatau yang kita lakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mustafa, (1993), Tafsir Al-Maraghi, Semarang: PT. Toha Karya Putra Semarang.
Syekh. H. Abdul Halim Hasan, (2006), Tafsir Al-Ahkam, Jakarta: Kencana: Prenada Media Group.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, (1999), Terjemahan Taisiru Al-Aliyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3, Jakarta: Gema Insani Press.
Abu Bakar jabir, (2006), Tafsir Al-Aisar, Jakarta: Darussunnah.
M. Quraish Shihab, (2002), Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Perpustakaan Umum Islam Iman Jama’.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peradaban Pemikiran Islam Pada Masa Dinasty Muawiyyah, guna untuk menyelesaikan program mata kuliah pada pasca sarjana IAIN Malikussaleh.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP