SEJARAH PERADABAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah perkembangan Islam, banyak aspek yang telah menjadi corak terpenting yang telah berhasil dipraktikkan secara Islami, dalam artian hal tersebut berpedoman melalui al-Qur’an dan as-Sunnah. Aspek yang telah menjadi corak positif pada pemeluk agama Islam adalah keunggulan di bidang politik sebagaimana telah tercatat dalam sejarah bahwa ketika Daulat Bani Abbas memegak pemerintahan dunia Islam, telah berhasil membentuk sistem politik yang luar biasa kuat hingga kepemimpinan dalam suatu dinasti mencapai 5 abad, juga dikisahkan bahwa umat Islam dibawa kendali khalifah Bani Abbas juga berhasil menciptakan sumber pemasukan negara, biro-biro pemerintahan yang teratur, sistem organisasi militer yang kuat, administrasi wilayah pemerintahan yang lengkap dan lain-lain.[1] Disamping itu, Islam juga berhasil memperluas wilayah kekuasaan dalam meletakkan pengaruh kekuatan Islam. Dalam sejarah, juga tercatat bahwa saat kepemimpinan Umar Bin Khattab, perluasan daerah kekuasaan terjadi, pertama terjadi perluasan Syiriah – Damaskus jatuh pada tahun 653 M dan setahun setelah itu, secara total wilaya Syiriah dibawa kendali Islam.[2] Bukan hanya itu, bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, militer dan sebagainya juga telah mewarnai perkembangan dunia Islam.
Disisi lain, meski telah mengalami kemajuan total, namun dalam sejarah juga tercatat bahwa Islam mengalami kemunduran yang indikatornya bila dikaji lebih dalam cukup sederhana yaitu melalui dua hal, yang pertama adalah karena kepemimpinan Islam tidak lagi berada pada jalur ketaqwaan sehingga mengalami pergeseran dan yang kedua adalah karena dunia diluar Islam lebih gesit melakukan gerakan pembaharuan dalam urusan pemikiran demi peningkatan kesejahtaraan masyarakat di Dunia mereka. Kedua indikator tersebus sangat beralasan untuk suatu kemajuan dalam Islam.
Kepemimpinan Islam yang dalam sejarah pernah mencatat kemajuan, ternyata juga disebutkan bahwa dalam suatu babakan sejarah, telah mengalami kemunduran. Sejarah tersebut juga mengurai alasan-alasan ril yang menyebabkan keruntuhan Islam tersebut. Melalui sejarah itulah, umat Islam yang merasa mengalami pergeseran yang begitu drastis melakukan gerakan pemikiran yang seringkali dilakukan melalui penanaman wacaca, baik melalui buku-buku maupun dipublikasikan lewat mimbar. Cara lain yang juga digunakan dalam dengan membentuk gerakan kolektif atas nama Islam.

B. Rumusan
1.      Pembaharuan Politik Islam Di Indonesia

C. Tujuan
Dengan mengupas isi di mkalah ini insya Allah kita sudah mengalami kehidupan islam dulu.
BAB II
PEMBAHASAN

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM INDONESIA

Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran prograsif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ke-17, telah melahirkan kebangkitan Islam dikalangan  warga Arab. Yang terpenting diantaranya adalah gerakan Wahabi, sebuah gerakan Reformis Puritanis. Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan kearah pembaharuan Islam abad ke-20 yang lebih bersifat intelektual. 
Katalisator terkenal gerakan pembaharuan ini adalah Jamaluddin al-Afgani (1897). Ia mengajarkan solidaritas panislamisme dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang secara ilmiah dimodernisasi.
Gerakan yang lahir ditimur tengah itu telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia, bermula dari pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau yang disusul oleh pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan, seperti Sarekat Dagang Islam di Bogor (1909) dan Solo (1911), Persarikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam di Bandung (1920), Nahdatul Ulama di Surabaya (1926) dan Persatuan Tarbiyyah Islamiah di Candung Bukit Tinggi (1930) dan Partai-partai politik seperti : SI (Sarekat Islam) yang merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan Muslimin Indonesia di Padang Panjang (1932) yang merupakan kelanjutan dan perluasan dari organisasi Pendidikan Thawalib dan Partai Islam Indonesia (1938).
Sementara itu hampir pada waktu yang bersamaan, pemerintah penjajahan menjalankan politik etis, politik balas budi, belanda mendirikan sekolah-sekolah formal bagi bumi putera terutama dari kalangan priyayi dan kaum bangsawan. Pendidikan Belanda tersebut membuka mata kaum terpelajar akan kondisi masyarakat Indonesia. Pengetahuan mereka akan kemiskinan, kebodohan dan ketertindasan masyarakat Indonesia, pada saatnya mendorong lahirnya organisasi-organisasi sosial seperti Budi Utomo, Taman Siswa, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Selebes, dan lain-lain.[3]
Pada perkembangan selanjutnya kebangkitan intelektual ini mempunyai berbagai macam corak pemikiran diantaranya :
1.      Tradisionalisme, faham ini terkadang disebut dengan Islam tradisional, kaum tradisionalis cenderung melindungi tradisi-tradisi dan praktik-praktik yang di contohkan oleh umat Islam awal (salaf), mereka tidak akan menerima tantangan Barat dan akan menentang setiap bentuk perubahan, seperti masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi modern, atau mereka akan “meresponi tantangan dari barat atas dasar paradigma-paradigma yang ditawarkan tradisi untuk menanggulangi kesulitan yang dihadapi”.
2.      Modernisme, kaum modernis berpendapat bahwa penyebab keterbelakangan peradaban umat Islam adalah stagnasi intelektual dan kekakuan ulama dalam memahami Islam dan dalam menanggapi dinamika kehidupan modern. Oleh karena itu pemikir modernis menyerukan  dibukanya kembali pintu ijtihad, yang dengan itu revitalisasi Islam dapat ditempuh. Untuk revitalisasi ini—yang bisa digambarkan sebagai upaya yang mencakup gagasan tajdid dan islah—pemikir modernis mengusulkan berbagai pendekatan, termasuk rasionalisasi, sekulerisasi dan rekonstruksi.
3.      Neo Modernisme, yaitu pemikiran keislaman yang menggabungkan dua aliran modernism dan tradisionalisme, tokohnya adalah Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid dan Ahmad Wahib.
4.      Fundamentalisme, sama dengan pemikir-pemikir modernis, pemikir-pemikir fundamentalis yakin pada Islam sebagai agama yang menyeluruh, mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam dipandang sebagai sistem, mencakup seluruh wilayah kultural (cultural universal). Tapi pemikir-pemikir fundamentalis juga menekankan perbedaan (distinctiveness) dan pertentangan antara Islam yang menghadapi tantangan dari Barat. Dalam wilayah politik, kaum fundamentalis cenderung menghindar dari setiap ide yang dipandang terbaratkan, dan karena itu dianggap tidak islami. Dengan pemahaman atas Islam secara literal dan tekstual, kaum fundamentalis lebih berupaya mengembangkan konsep-konsep mereka sendiridari perspektif Islam sebagai alternatif atas konsep-konsep Barat.[4]
5.      Sosialisme Demokrat, yaitu gerakan Islam yang melihat keadilan sosial dan demokrasi sebagai unsur pokok Islam. Tokoh-tokohnya : Dawam Raharjo, Adi Sasono, dan Kuntowijoyo.
6.      Universalisme, gerakan pemikiran Islam yang memandang Islam sebagai ajaran universal, dengan obsesi Islam sebagai perangkat nilai alternative dari kemerosotan nilai-nilai barat. Tokoh-tokohnya adalah : Amien Ras, Jalaluddin Rahmat, dan A.M. Saefudin.
7.      Neo Revivalis, sering diartikan dengan gerakan ikhwan al-muslimin di Mesir. Di Indonesia variannya muncul dalam beberapa organisasi seperti Hamas, Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin. Meski mereka berbeda-beda, tetapi secara umum mereka adalah kelompok yang “menjaga jarak” dengan peradaban barat, barat adalah musuh. Maka symbol-simbol identitas dan peradaban senantiasa digunakan dalam kesadaran keberagamaannya, misalnya berjenggot, bersorban, dan lain-lain.[5]
8.      Moderat, Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal (lahir 1888).[6]
9.      Radikalisme, kelompok ini memahami  Islam sebagai agama yang sempurna dan lengkap, dan memberikan perhatian kepada otentisitas kultural. Namun Islam bukanlah agama dalam pengertian barat, tetapi Islam adalah cara hidup yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Posisi ini berbeda dari kaum sekularis yang menolak intervensi agama dalam kehidupan publik, trutama politik. Manifestasi dari pandangan radikal adalah pada keharusan untuk mendirikan negara Islam yang didasarkan pada syari’ah. Perbedaan antara kaum radikal dan modernis adalah penegasan yang pertama terhadap keunikan Islam. Mereka dengan tegas menolak setiap usaha untuk mengidentifikasi Islam dengan demokrasi, kapitalisme, sosialisme atau ideologi barat lainnya.  Hanya saja, berbeda dari Islamis atau neo-fundamentalis, radikalisme Islam memperbolehkan penggunaan cara kekerasan atau bahkan pembunuhan untuk mewujudkan agenda dan tujuan politiknya.[7]
Intelektualisme Islam di Indonesia dalam dekade terakhir yang telah menghadirkan keragaman gagasan, namun punya tujuan yang sama, yakni merumuskan kembali jawaban Islam terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi umat Islam. Gagasan ini lahir dari dua faktor yang saling berkaitan, yakni kondisi nyata umat Islam yang berakar dari perjuangan mencari hubungan yang pas antara Islam dan budaya Indonesia, dan kebangkitan generasi umat Islam yang terdidik.[8]
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Gerakan pembaruan Islam atau yang lebih dikenal dengan Modernisasi Islam, merupakan langkah awal dalam menghadapi dilematika sosial yang terjadi pada masyarakat Islam khususnya di Indonesia, gerakan ini diawali dengan lahirnya gerakan Wahabi di Timur sebagai gerakan reformis puritanis yang menjunjung Intelektualisme Islam dengan tokohnya Jamaluddin Al-Afghani.
Di Indonesia gerakan ini dipandang sebagai pemicu lahirnya pembaruan Islam yang signifikan dalam pemikiran politik Islam Indonesia, diawali dengan lahirnya organisasi-organisasi sosial seperti SI (Sarekat Islam), Persarikatan Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Nahdatul Ulama, Persatuan Tarbiyyah Islamiah Dan Lain Sebagainya Sampai Pada Faham Tradisionalisme, Modernisme, Neo-Modernisme, Fundamentalisme, Sosialisme Demokrat, Universalisme, Neo Revivalis, Moderat bahkan Radikalisme dan juga yang lainnya, menjadikan warna yang bervarian dalam peradaban Islam di indonesia.
Perbedaan faham memahami dan beraksi dalam hal pemikiran politik Islam bukanlah suatu kekurangan yang hanya menyebabkan konflik, akan tetapi lebih memiliki nilai kebersamaan bahwa dalam setiap perbedaan ada satu kesamaan yaitu tujuan, dimana setiap tipologi pemikiran Islam memiliki visi yang sama yaitu Intelektualisme Islam dan Modernisasi perkembangan. Hal ini sesuai dengan semboyan Negara Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi satu tujuan). 



DAFTAR PUSTAKA

Philip K. Kitti, History Of The Arabs. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta; Cet I. 2010.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta; Cet ke-23; 2011.
Badri Yamtim, Sejarah Peradaban Islam ((Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000). h. 257-258.
Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: logos Wacana Ilmu, 2001).
Musrifah Sunanto, SejarahPeradaban Islam Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005).
Noer Iskandar, Pemikiran Politik Islam Modern dan Kontemporer, (e-book) diupdate tanggal 1 Juni 2012.
Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme Dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer (e-book) diupdate tanggal 1 Juni 2012.


[1] Philip K. Kitti, History Of The Arabs. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta; Cet I. 2010., h. 395
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta; Cet ke-23; 2011., h. 37
[3] Badri Yamtim, Sejarah Peradaban Islam ((Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000). h. 257-258
[4] Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: logos Wacana Ilmu, 2001) hal. 140.

[5] Musrifah Sunanto, SejarahPeradaban Islam Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 307
[6] Noer Iskandar, Pemikiran Politik Islam Modern dan Kontemporer, (e-book) diupdate tanggal 1 Juni 2012 hal. 5

[7] Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme Dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer (e-book) diupdate tanggal 1 Juni 2012 hal. 9
[8] Dun Syamsuddin, hal. 80

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peradaban Pemikiran Islam Pada Masa Dinasty Muawiyyah, guna untuk menyelesaikan program mata kuliah pada pasca sarjana IAIN Malikussaleh.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP