Akhlak Terpuji
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam hidup di dunia ini mempunyai
dua macam akhlak/perilaku/tingkah laku, ada akhlak terpuji dan ada juga yang
tercela. Akhlak yang terpuji akan berdampak positif pada pelakunya begitu juga
akhlak tercela yang akan membawa dampak negatif.
Agama islam mengajarkan hal-hal yang baik
dalam segala aspek kehidupan manusia, islam adalah ajaran yang benar untuk
memperbaiki manusia dalam membentuk akhlaknya demi mencapai kehidupan yang
mulia baik di dunia maupun di akhirat.
Dengan akhlak yang terpuji manusia dapat
mendapatkan derajat yang tinggi, baik di mata Allah swt, sesama manusia dan
semua makhluk Allah swt yang lain termasuk jin dan malaikat. Selain akhlak
terpuji, manusia juga bisa memiliki perilaku tercela yang harus ditinggalkan
karena akan menurunkan derajatnya di mata Allah dan makhluk-makhluk-Nya yang
lain.
Di sini pemakalah akan mencoba untuk
memaparkan beberapa di antara yang termasuk ke dalam akhlak-akhlak terpuji dan
tercela.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Hadits-hadits yang termasuk dalam
pembahasan akhlak terpuji.
2. Hadits-hadits yang termasuk dalam
pembahasan akhlak tercela.
BAB II
PEMBAHASAN
AKHLAK
TERPUJI DAN AKHLAK TERCELA
A. Hadits-haits yang
termasuk dalam pembahasan akhlak terpuji
Hadits tentang orang baik adalah orang yang baik akhlaknya
عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ
سَمْعَانَ الأَنْصَارِىِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ
الْبِرِّ وَالإِثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى
صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ (رواه مسلم)
“Dari An Nawwas ra. Ia berkata: “saya menanyakan tentang kebajikan dan dosa
(kejahatan) kepada Rasulullah saw. Kemudian Beliau menjawab: “kebajikan itu
adalah budi pekerti yang baik, dan dosa (kejahatan) itu adalah sesuatu yang
merisaukan hatimu dan kamu tidak senang bila hal itu diketahui orang lain.” (H.R. Muslim).[1]
Akhlak adalah perilaku lisan, perbuatan fisik, bahkan
perbuatan diam kita. Semua tindak-tanduk kita adalah akhlak kita. Akhlak
terpuji adalah akhlak yang baik, diwujudkan dalam bentuk sikap, ucapan dan
perbuatan yang baik sesuai dengan ajaran islam. Akhlak terpuji yang ditujukan
kepada Allah swt berupa ibadah, dan kepada Rasulullah saw. dengan mengikuti
ajaran-ajarannya, serta kepada sesama manusia dengan selalu bersikap baik pada
manusia yang lain.[2]
Menjadi manusia yang berakhlak mulia bukanlah suatu hal yang mudah.
Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah swt. kepada kita semua untuk memperbaiki
akhlak manusia. Beliau bersabda: “sesungguhnya aku diutus hanya untuk
memperbaiki akhlak“. Akhlak adalah cermin hati. Artinya, ketika seseorang
berakhlak baik maka berarti ia memiliki hati yang bersih dan jernih. Sedangkan
orang yang memiliki akhlak buruk maka hidupnya akan suram, dan akan membawa
kerusakan baik bagi dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Itulah sebabnya
setiap manusia harus memperbaiki akhlaknya.[3]
Memiliki akhlak yang baik atau akhlak mulia bagi setiap manusia adalah
suatu hal yang sangat penting. Karena dimanapun kita berada, apapun pekerjaan
kita, akan di senangi oleh siapa pun. Artinya, akhlak menentukan baik buruknya
seseorang di hadapan sesama.
Hadits tentang kejujuran membawa kebaikan.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الصِّدْقَ
بِرٌّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَحَرَّى
الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ فُجُورٌ
وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَحَرَّى
الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا (متفق عليه)
“Dari Ibnu Mas’ud ra. Berkata, Rasulullah saw. Bersabda: “sesungguhnya
shidq (kejujuran) itu membawa kepada kebaikan, Dan kebaikan itu membawa ke
surga. Seseorang akan selalu bertindak jujur sehingga ia ditulis di sisi
Allah swt sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada
kejahatan, dan kejahatan itu membawa ke neraka. Seseorang akan selalu berdusta
sehingga ia ditulis di sisi Allah swt sebagai pendusta”. (Muttafaqun ‘Alaih).[4]
Yang dimaksud jujur adalah kebenaran, yaitu sesuainya antara perkataan dan
kenyataan atau I’tiqad yang ada di dalam hati. Perilaku jujur tidak
hanya diwujudkan dalam ucapan tapi juga dalam hatinya dan juga dalam setiap
tingkah laku dan perbuatan kita. Bahkan untuk hal yang sekecil apapun dari
setiap aspek kehidupan, kita diminta untuk berlaku jujur. Kebenaran perkataan
akan membawa dampak kebenaran perbuatan dan kebaikan dalam seluruh tindakan.
Jika seseorang selalu berkata dan berbuat yang benar, maka cahaya kebenaran
itu akan memancarkan ke dalam lubuk hati dan pikirannya. Kejujuran ialah
ketenangan hati, artinya orang yang berkata jujur dalam hidupnya akan selalu
merasa tenang, karena ia sudah menyampaikan apa yang sesuai dengan realita dan
ia tidak akan merasa ragu, karena ia yakin bahwa semua apa yang dilakukannya
benar.
Kejujuran merupakan suatu pondasi yang mendasari iman seseorang, karena
sesungguhnya iman itu adalah membenarkan dalam hati akan adanya Allah. Jika
dari hal yang kecil saja ia sudah terlatih untuk jujur maka untuk urusan yang
lebih besar ia pun terbiasa untuk jujur.[5]
Menjadi orang jujur atau pendusta merupakan pilihan bagi setiap orang, dan
masing-masing pilihan memiliki konsekuensinya sendiri. Bagi orang yang memilih
menjalani hidupnya dengan penuh kejujuran dalam segala aspek kehidupannya, maka
ia akan memiliki citra yang baik di mata orang-orang yang mengenalnya.
Ketika seseorang selalu berkata jujur dan berbuat benar, maka akan
diterima ucapannya di hadapan orang-orang dan diterima kesaksiannya di hadapan
para hakim serta disenangi pembicaraanya. Sebaliknya, bagi mereka yang selalu
berlaku dusta dalam hidupnya, maka ia tidak akan memliki pandangan yang baik
oleh orang-orang di sekitarnya.
1. Hadits tentang perbuatan baik dengan
tetangga
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم:
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يؤذ جاره ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر
فليكرم ضيفه ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت (رواه البخاري)
“Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw
bersabda: “barang siapa yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir, maka
janganlah ia menyakiti tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah
swt dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Dan barang siapa yang
beriman kepada Allah swt dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik
atau diam”. (Muttafaqun ‘alaih).[6]
Dari hadits di atas dapat kita ambil
pelajaran, untuk mengukur keimanan seseorang menurut cara Rasulullah saw. Yaitu
agar keimanan seorang muslim dilihat dari tiga hal, yaitu: kebaikannya terhadap
tetangga, berbuat baik kepada tamu dan perkataannya kepada orang lain. Tiga
alat ukur yang sudah disampaikan oleh Rasulullah saw di atas bisa dijadikan
barometer bagi seseorang dalam kehidupan sehari-hari.[7]
Tidak menyakiti hati tetangga, menghormati
tamu, dan berkata baik atau memilih diam menjadi kerangka ukur bagi orang yang
beriman kepada Allah swt dan hari akhir. Orang yang sudah mendeklarasikan
beriman kepada Allah swt dan hari akhir, dilarang keras mengganggu apalagi
menyakiti tetangga, baik fisik maupun psikis. Menghormati dan memuliakan orang
lain merupakan langkah baik untuk membangun relasi antara lembaga keluarga
dengan tetangga.[8]
2. Hadits tentang etika duduk di jalan
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه: عن النبي صلى الله
عليه و سلم قال: إياكم والجلوس في الطرقات. فقالوا: ما لنا بد إنما هي مجالسنا
نتحدث فيها. قال: فإذا أبيتم إلا المجالس فأعطوا الطريق حقها. قالوا: وما حق
الطريق؟ قال: غض البصر وكف الأذى ورد السلام وأمر بالمعروف ونهي عن المنكر (رواه
البخاري و مسلم)
“Dari abu sa’id al-khudry ra dari nabi saw.
Beliau bersabda: “jauhilah duduk-duduk di tepi jalan!” para sahabat terbanya:
“wahai rasulullah kami tidak bisa meninggalkan tempat-tempat itu, karena di
tempat itulah kami membicarakan sesuatu” rasulullah saw bersabda: “apabila
kalian tidak bisa meninggalkan dududk-duduk di sana, maka penuhilah hak jalan
itu” para sahabat bertanya: “apakah hak jalan itu, wahai rasulullah?” beliau
menjawab: “memejamkan mata, tidak mengganggu, menjawab salam, amar ma’ruf dan
nahi munkar”. (H.R. Bukhari dan Muslim).[9]
Kandungan hadits di atas adalah larangan
keras duduk-duduk di pinggir jalan, sebab itu adalah majelis setan, kecuali
apabila hak jalan tersebut ditunaikan.
Sebagaimana dalam hadits lain Rasulullah
saw bersabda:
فَإِنَّهَا سَبِيلٌ مِنْ سُبُلِ الشَّيْطَانِ أَوِ
النَّارِ
Artinya: “Sesungguhnya (tepi) jalanan
itu adalah salah satu dari jalan-jalan setan atau neraka”.
Itulah alasan kenapa Nabi Saw melarang kita
duduk-duduk di tepi jalanan atau semisalnya.
Tetapi dari hadits di atas kita dapati pula
bahwa selain Rasulullah saw. melarang duduk di pinggir jalan, Beliau
membolehkannya dengan catatan harus menunaikan hak-hak jalan tersebut sebagai
syarat pembolehannya. Kita juga dapati bahwa larangan duduk di pinggir jalan
ditujukan bagi mereka yang tetap ingin duduk di pinggir jalan tetapi tidak
menunaikan syarat-syarat tadi.
Rasullullah saw berpesan, bahwa jika memang
duduk di jalan itu diperlukan dan tidak bisa ditinggalkan, maka wajib memenuhi
hak-hak orang lain yang m elewati
mereka, di antaranya yang disebutkan dalam hadits ini ada empat macam hak.
Yaitu: pertama, menundukkan (membatasi) pandangan (dari melihat para
wanita yang bukan mahramnya yang melewatinya atau hal-hal yang diharamkan). kedua,
tidak mengganggu (menyakiti) orang dengan ucapan maupun perbuatan. ketiga,
menjawab salam. keempat, memerintahkan (manusia) kepada kebaikan dan
mencegah (mereka) dari perbuatan mungkar.
B. Hadits-Haits Yang Termasuk Dalam
Pembahasan Akhlak Tercela
1. Hadits tentang buruk sangka
عن أبي هريرة : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: إياكم
والظن فإن الظن أكذب الحديث ولا تحسسوا ولا تجسسوا ولا تحاسدوا ولا تدابروا ولا
تباغضوا وكونوا عباد الله إخوانا (رواه البخاري)
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra bahwa
Rasulullah saw bersabda: ”jauhilah oleh kalian berprasangka, karena
Sesungguhnya berprasangka itu ucapan paling dusta. Janganlah mencari-cari
kesalahan orang lain, janganlah memata-matai, janganlah saling bersaing, iri
hati, benci dan berselisih. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara”.
(H.R. Bukhari).[10]
Persaudaraan menjadi kata kunci pesan
Rasulullah dalam hadits di atas. Dalam membina dan menjaga keutuhan
persaudaraan, kita harus selalu menjauhi prasangka, mencari-cari kesalahan
orang lain, memata-matai, saling iri, dan benci satu dengan yang lain. Jika
kita tidak bisa menjauhi apa yang sudah digariskan Rasulullah (kebiasaan jelek)
di atas, maka yang tersisa adalah sebuah permusuhan dan saling membenci antara
satu dengan yang lain. Tentu ini adalah awal bencana keretakan, ketidakrukunan
dan hilangnya harmoni di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.[11]
2. Hadits tentang ghibah dan buhtan
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ. قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَعْلَمُ. قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ
فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ
وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ (رواه مسلم)
Artinya:
“Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bertanya: “tahukah
kamu sekalian, apakah menggunjing itu?” para sahabat berkata: “Allah swt dan
Rasul-Nya lebih mengetahui’. Beliau bersabda: “yaitu bila kamu menceritakan
keadaan saudaramu yang ia tidak menyenanginya”. Ada seorang sahabat bertanya:
“bagaimana seandainya saya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada
saudara saya itu?” beliau menjawab: “apabila kamu menceritakan apa yang
sebenarnya terjadi pada saudaramu itu, maka berarti kamu telah menggunjingnya,
dan apabila kamu menceritakan apa yang sebenarnya tidak terjadi pada saudaramu,
maka kamu bener-benar membohongkannya”. (H.R. Muslim)[12]
Dari hadits di atas Nabi saw menjelaskan
makna ghibah, yaitu dengan menyebut-nyebut orang lain dengan sesuatu
yang ia benci, baik tentang fisiknya maupun sifat-sifatnya. Maka setiap kalimat
yang kita ucapkan sementara ada orang lain yang membencinya, jika ia tahu kita
mengatakan demikian maka itulah ghibah. Dan jika sesuatu yang kita
sebutkan itu ternyata tidak ada pada dirinya, berarti kita telah melakukan dua
kejelekan sekaligus: ghibah dan buhtan (dusta).
Imam Nawawi ra mengatakan, “Ghibah berarti
seseorang menyebut-nyebut sesuatu yang dibenci saudaranya baik tentang
tubuhnya, agamanya, duniannya, jiwanya, akhlaknya,hartanya, anak-anaknya,istri-istrinya,
pembantunya, gerakannya, mimik bicarnya atau kemuraman wajahnya dan yang
lainnya yang bersifat mngejek baik dengan ucapan maupun isyarat”.[13]
Tidak semua jenis ghibah dilarang dalam
agama. Ada beberapa jenis ghibah yang diperbolehkan yaitu yang dimaksudkan
untuk mencapai tujuan yang benar dan tidak mungkin tercapai kecuali dengan
ghibah. Ada enam jenis ghibah yang diperbolehkan, yaitu:[14]
Orang yang terdzolimi mengadukan kedzoliman
yang dilakukan orang lain kepada penguasa atau hakim yang berkuasa yang
memiliki kekuatan untuk mengadili perbuatan tersebut. Sehingga diperbolehkan
mengatakan,”Si Fulan telah mendzalimi diriku” atau “Dia telah berbuat demikian
kepadaku.”
Meminta bantuan untuk menghilangkan
kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran. Maka seseorang
diperbolehkan mengatakan, “Fulan telah berbuat demikian maka cegahlah dia!”
Meminta fatwa kepada mufti (pemberi
fatwa) dengan mengatakan: ”Si Fulan telah mendzolimi diriku, apa yang pantas ia
peroleh? Dan apa yang harus saya perbuat agar terbebas darinya dan mampu
mencegah perbuatan buruknya kepadaku?”
Atau ungkapan semisalnya, Hal ini
diperbolehkan karena ada kebutuhan. Dan yang lebih baik hendaknya pertanyaan
tersebut diungkapkan dengan ungkapan global, contohnya: “Seseorang telah
berbuat demikian kepadaku” atau “Seorang suami telah berbuat dzolim kepada
istrinya” atau “Seorang anak telah berbuat demikian” dan sebagainya. Meskipun
demkian menyebut nama seseorang tertentu diperbolehkan, sebagaimana hadits
Hindun ketika beliau mengadukan (suaminya) kepada Rasulullah saw, “Sesungguhnya
Abu Sufyan adalah orang yang sangat pelit.”
Memperingatkan kaum muslimin dari
kejelekan, contohnya memperingatkan kaum muslimin dari perawi-perawi cacat
supaya tidak diambil hadits ataupun persaksian darinya, memperingatkan dari
para penulis buku (yang penuh syubhat). Menyebutkan kejelekan mereka
diperbolehkan secara ijma’ bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib demi menjaga
kemurnian syari’at.
Ghibah terhadap orang yang melakukan
kefasikan atau bid’ah secara terang-terangan, seperti menggunjing orang yang
suka minum minuman keras, dan perbuatan maksiat lainnya. Diperbolehkan
menyebutkannya dalam rangka menghindarkan masyarakat dari kejelekannya.
Menyebut identitas seseorang yaitu ketika
seseorang telah masyhur dengan gelar tersebut. Seperti si buta, si
pincang, si buta lagi pendek, si buta sebelah, si buntung maka diperbolehkan
menyebutkan nama-nama tersebut sebagai identitas diri seseorang. Hukumnya haram
jika digunakan untuk mencela dan menyebut kekurangan orang lain. Namun lebih
baik jika tetap menggunakan kata yang baik sebagai panggilan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia yang mulia bukanlah yang banyak
harta bendanya, tinggi kedudukannya, tampan rupanya ataupun keturunan
bangsawan, akan tetapi yang terpuji akhlaknya. Baik akhlak terhadap Allah swt.
maupun akhlak terhadap sesama manusia.
Kunci akhlak yang baik adalah dari hati
yang bersih. Dan hati yang bersih adalah hati yang selalu mendapatkan cahaya
dan sinar dari Allah SWT. Dengan sinar itu, hati akan dapat melihat dengan
jelas mana akhlak yang baik dan mana akhlak yang buruk. Mana perbuatan terpuji
dan mana perbuatan yang tercela. Maka dari itu kita harus selalu berdoa kepada
Allah SWT agar hati kita selalu mendapatkan cahaya dari-Nya.[15]
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami buat,
semoga dapat mendatangkan manfaat bagi kami (pemakalah) khususnya, dan bagi
pembaca pada umumnya. Kami selalu mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
konstruktif demi kesempurnaan makalah kami yang berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Ahmad Al Arif, Akidah Akhlak (Semaran: C.V. Aneka Ilmu, 2009)
Juwariyah, Hadis Tarbawi (Yogyakarta: Teras, 2010)
Muhammad, Ahmad Yusuf, Ensiklopedi Tematis Ayat Al-Qur’an dan Hadits,
(Jakarta: widya cahaya, 2009) cet I
Nawawi, Imam, Riyadhus Shalihin, Terj. Ahmad Sunarto, (Jakarta:
Pustaka Imani, 1999)
Ummatin, Khoiro, 40 Hadits Shahih Pedoman Membangun Hubungan
Bertetangga, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006) cet.I
[1]
Ahmad Muhammad Yusuf, Ensiklopedi Tematis Ayat
Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: widya cahaya, 2009) cet I. hal.84
[2]
Ahmad Adib Al Arif, Akidah Akhlak
(Semaran: C.V. Aneka Ilmu, 2009) hal.22
[4]
Juwariyah, Hadis Tarbawi (Yogyakarta: Teras,
2010) hal.70
[6]
Ahmad Muhammad Yusuf, Op.Cit, hal.548
[8] Khoiro Ummatin, 40 Hadits Shahih Pedoman Membangun Hubungan Bertetangga,
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006) cet.I hal.17
[10]Khoiro Ummatin, Op.cit, hal.22
[13]http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/rasulullah-shalallahualaihi-wasallam-
mengajarimu-arti-ghibah-sesungguhnya.html, diakses
tanggal 27 maret 2011 jam 13.00
[14]http://www.google.co.id/search?q=abu+huroiroh+tentang+ghibah+dan+buhtan
&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-GB:official&client=firefox-a, diakses tanggal 27 maret 2011 jam 13.30
Komentar
Posting Komentar