Manajemen Pendidikan
Pendahuluan
Dengan kata lain, munculnya sistem pendidikan madrasah juga merupakan respon atas kebijakan dan politik pendidikan Hindia Belanda pada saat itu. Politik pendidikan Hindia Belanda yakni dengan membuka lebih luas kesempatan pendidikan bagi penduduk pribumi, yang semula hanya terbatas pada kaum bangsawan, disamping merupakan politik etik, balas budi, juga merupakan salah satu usaha pemerintah Hindia Belanda untuk menundukkan masyarakat pribumi melalui jalur pendidikan
Dengan kata lain, munculnya sistem pendidikan madrasah juga merupakan respon atas kebijakan dan politik pendidikan Hindia Belanda pada saat itu. Politik pendidikan Hindia Belanda yakni dengan membuka lebih luas kesempatan pendidikan bagi penduduk pribumi, yang semula hanya terbatas pada kaum bangsawan, disamping merupakan politik etik, balas budi, juga merupakan salah satu usaha pemerintah Hindia Belanda untuk menundukkan masyarakat pribumi melalui jalur pendidikan
Dinamika dan Problematika
Dalam perkembangannya,
madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam sekarang ditempatkan sebagai
pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Munculnya SKB 3 Menteri
Tahun 1975 (Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri) menandakan bahwa eksistensi madrasah cukup
kuat beriringan dengan sekolah umum. Munculnya SKB 3 Menteri merupakan langkah
positif untuk meningkatkan mutu madrasah; baik dari status, ijazah, maupun
kurikulumnya. Pada awalnya SKB 3 Menteri tersebut juga dipermasalahkan karena
komposisi pendidikan umum dan agama 70 % dan 30 %. Namun oleh Menteri Agama
pada saat itu, Mukti Ali, dijelaskan bahwa dalam prakteknya kedua mata
pelajaran tersebut dapat saling mengisi, sehingga sama-sama 100 % (Biografi Sosial-Politik
Menteri-menteri Agama RI, 1998).
Jauh sebelum
SKB 3 Menteri tersebut, pemerintah telah meningkatkan penataan madrasah sebagai
lembaga pendidikan formal. Penataan itu antara lain; Keputusan Menteri Agama
No. 1 Tahun 1952, yang berisi klasifikasi dan penjenjangan pendidikan madrasah.
Berdasarkan keputusan itu, pendidikan di madrasah dilaksanakan dalam tiga
tingkat, yaitu tingkat dasar 6 tahun (Madrasah Ibtidaiyah), tingkat menengah
pertama 3 tahun (Madrasah Tsanawiyah), dan tingkat menengah atas 3 tahun
(Madrasah Aliyah). Dalam peraturan ini disebutkan juga bahwa di ketiga tingkat
madrasah tersebut minimal harus mengajarkan tiga mata pelajaran akademik yang
diajarkan di sekolah umum dan mengikuti standar kurikulum Departemen Agama.
Kemudian
pada tahun 1958, Kementerian Agama mengusahakan pengembangan madrasah dengan
memperkenalkan model Madrasah Wajib Belajar (MWB) yang ditempuh selama delapan
tahun. Pendidikan Madrasah Wajib Belajar ini memuat kurikulum terpadu antara
aspek keagamaan, pengetahuan umum, dan ketrampilan. Kendatipun demikian
hasilnya belum optimal.
Munculnya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
memperjelas posisi madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam.
Madrasah Ibtidaiyah adalah Sekolah Dasar berciri khas Islam, Madrasah
Tsanawiyah adalah SLTP berciri khas Islam dan Madrasah Aliyah adalah SMU
berciri khas Islam. Konsekwensi dari semua itu adalah bahwa madrasah harus
memberikan materi kurikulum minimal sama dengan materi kurikulum yang ada di
sekolah umum.
Upaya untuk
meningkatkan kualitas dan keberadaan madrasah tersebut, dalam perkembangannya
tidak pernah lepas dari problematika-problematika yang dihadapi. Sebagai suatu
inovasi dalam Sistem Pendidikan Islam, ada beberapa problematika yang dihadapi
oleh madrasah:
- Dengan inovasi struktur dan
kurikulum yang diajarkan, madrasah seolah telah kehilangan akar
sejarahnya, artinya keberadaan madrasah bukan merupakan kelanjutan dari
pesantren, meskipun diakui bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga
pendidikan Islam pertama di Indonesia.
- Terdapat dualisme pemaknaan
terhadap madrasah. Di satu sisi, madrasah diidentikkan dengan sekolah
(umum) karena memiliki muatan kurikulum yang realtif sama dengan sekolah
umum. Di sisi lain, madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem
pendidikan klassikal yang kemudian dikenal dengan madrasah diniyah.
- Muatan kurikulum yang relatif
sama dengan muatan kurikulum di sekolah, menjadikan madrasah kurang
memiliki jati diri sebagai lembaga yang mencetak ahli-ahli agama.
- Dengan penegerian beberapa
madrasah yang ada, mengakibatkan berkurangnnya peran serta masyarakat
terhadap madrasah. Ada suatu anggapan bahwa setelah dinegerikan, maka
semua tanggungjawab berada pada pemerintah, sehingga masyarakat lepas sama
sekali.
- Kendatipun status madrasah
sudah disamakan dengan sekolah (umum), namun dalam realitasnya keberadaan
madrasah tetap dianggap sebagai pendidikan kelas dua, baik dari segi
kualitas akademik, maupun sarana dan dan prasarana.
- Praktek manajemen di madrasah
sering menunjukkan model manajemen tradisional, yakni model manajemen paternalistik
atau feodalistik. Dominasi senioritas semacam ini terkadang mengganggu
perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Munculnya kreativitas
inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak
menghargai senior. Kondisi yang demikian ini mengarah pada ujung ekstrem
negatif, hingga muncul kesan bahwa meluruskan langkah atau mengoreksi
kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su’ul adab.
- Tidak optimalnya peran serta
pengelola madrasah dalam menjalankan prinsip-prinsip manajemen dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar, pengambilan keputusan, pelaksanaan
kurikulum dan aktivitas kurikuler lainnya. Prinsip manajemen seperti
bagaimana penerpan planning, organizing, controlling dan evaluating belum
dijalankan sepenuhnya.
- Pola kepemimpinan sebagai bagian dari manjemen pengelolaan madrasah masih bersifat sentralistik, dimana kebanyakan kepala madrasah masih dominan dalam penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan. Tentu hal ini, sangat mengambat pengembangan madrasah untuk mampu bersaing dengan sekolah formal lainnya atau paling tidak menjadi pilihan bagi masyarakat untuk mempercayakan pendidikan anknya kepada madrasah.
Persepsi
masyarakat terhadap madrasah di era modern belakangan semakin menjadikan
madrasah sebagai lembaga pendidikan yang unik. Di saat ilmu pengetahuan dan
teknologi berkembang pesat, di saat filsafat hidup manusia modern mengalami
krisis keagamaan dan di saat perdagangan bebas dunia makin mendekati pintu
gerbangnya, keberadaan madrasah tampak makin dibutuhkan orang.
Terlepas
dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem
seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana prasarananya,
maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku dan
aturan-aturan lain yang menimbulkan kesan madrasah sebagai ‘sapi perah’,
madrasah yang memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh model
pendidikan lainnya itu menjadi salah satu tumpuan harapan bagi manusia modern
untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri
dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring
dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi. Sebagai jembatan antara model
pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat
fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren,
madrasah bukanlah barang yang asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan
inovasi model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para
santri lebih mudah mengetahui sampai di mana tingkat penguasaan materi yang
dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang disertai audio visual aids,
kesan kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang selama itu melekat pada
pesantren sedikit demi sedikit terkikis. Masyarakat metropolit makin tidak malu
mendatangi dan bahkan memasukkan putra-putrinya ke pesantren dengan model
pendidikan madrasah. Baik mereka yang sekedar berniat menempatkan
putra-putrinya pada lingkungan yang baik (agamis) hingga yang benar-benar
menguasai ilmu yang dikembangkan di pesantren tersebut, orang makin berebut
untuk mendapatkan fasilitas di sana. Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo,
misalnya, penuh dengan putra putri konglomerat, sekali daftar tanpa mikir bayar,
lengkap sudah fasilitas didapat. Ma’had Al-Zaitun yang berlokasi di daerah
Haurgelis (sekitar 30 KM dari pusat kota Indramayu), yang baru berdiri pada
tahun 1994, juga telah menjadi incaran masyarakat modern kelas menengah ke
atas, bahkan sebagian muridnya berasal dari negara-negara sahabat, seperti
Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Dengan demikian, model pendidikan
madrasah di lingkungan pesantren telah memiliki daya tawar yang cukup tinggi.
Melihat
kenyataan seperti itu, tuntutan pengembangan madrasah akhir-akhir ini dirasa
cukup tinggi. Oleh karena itu banyak model pendidikan madrasah bermunculan di
tengah kota, baik di kota kecil maupun di kota-kota metropolitan. Meskipun
banyak madrasah yang berkembang di luar lingkungan pesantren, budaya agamanya,
moral dan etika agamanya tetap menjadi ciri khas sebuah lembaga pendidikan
Islam. Etika pergaulan, perilaku dan performance pakaian para santrinya menjadi
daya tarik tersendiri, yang menjanjikan kebahagiaan hidup dunia akhirat
sebagaimana tujuan pendidikan Islam
Realitas
menunjukkan bahwa praktek pendidikan nasional dengan kurikulum yang dibuat dan
disusun sedemikian rupa bahkan telah disempurnakan berkali-kali, tidak hanya
gagal menampilkan sosok manusia Indonesia dengan kepribadian utuh, bahkan membayangkan
realisasinya saja terasa sulit. Pendidikan umum (non madrasah) yang menjadi
anak emas pemerintah, di bawah naungan Depdiknas, telah gagal menunjukkan
kemuliaan jati dirinya selama lebih dari tiga dekade. Misi pendidikan yang
ingin melahirkan manusia-manusia cerdas yang menguasai kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan kekuatan iman dan taqwa plus budi pekerti
luhur, masih tetap berada pada tataran ideal yang tertulis dalam susunan
cita-cita (perundang-undangan). Tampaknya hal ini merupakan salah satu
indikator dimana pemerintah kemudian mengakui keberadaan madrasah sebagian dari
sistem pendidikan nasional.
Pendidikan
moral yang dilaksanakan melalui berbagai cara baik kurikuler (Pendidikan
Nasional dan Ketahanan Nasional atau PPKN) maupun ko kurikuler (Penataran P-4)
telah melahirkan elit politik yang tidak mampu tampil sebagai uswatun hasanah
(teladan yang baik) bahkan memberikan kesan korup dan membodohi rakyat.
Kegiatan penataran dan cerdas cermat P-4 (Pedoman Penghayatan dan pengamalan Pancasila)
tidak lebih dari aktivitas ceremonial karakteristik. Disebut demikian karena
kegiatan tersebut telah meloloskan para juara dari peserta yang paling mampu
menghafal buku pedoman dan memberikan alasan pembenaran, bukan mereka yang
mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancsila dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, para peserta penataran atau cerdas cermat P-4 berlomba-lomba
menghafal butir-butir Pancasila tanpa berusaha melaksanakannya di dalam
kehidupan nyata. Itulah di antara faktor yang mempengaruhi turunnya moralitas
bangsa ini Setelah kebobrokan moral dan mental merebak dan merajalela, orang
baru bangun dan sadar bahwa pendidikan moral yang selama ini dilakukan lebih
berorientasi pada pendidikan politik pembenaran terhadap segala pemaknaan yang
lahir atas restu regim yang berkuasa. Upaya pembinaan moral yang bertujuan
meningkatkan harkat dan martabat manusia sesuai dengan cita-cita nasional yang
tertuang dalam perundang-undangan telah dikesampingkan dan menjadi jauh dari
harapan.
Keberhasilan
pendidikan secara kuantitatif didasarkan pada teori Benjamin S. Bloom (1956)
yang dikenal dengan nama Taxonomy of Educational Objectives, yang
mencakup tiga domain yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Meskipun demikian,
keberhasilan output (lulusan) pendidikan hanyalah merupakan keberhasilan
kognitif. Artinya, anak yang tidak pemah shalat pun, jika ia dapat mengerjakan
tes PAl (Pendidikan Agama Islam) dengan baik maka ia bisa lulus (berhasil), dan
jika nilainya baik, maka ia pun dapat diterima pada tingkat pendidikan yang
lebih tinggi. Lain halnya dengan outcome (performance) seorang alumni
Madrasah, bagaimanapun nilai raport dan hasil ujiannya, moral keagamaan yang
melekat pada sikap dan perilakunya akan menjadi tolok ukur bagi keberhasilan
lembaga pendidikan yang menjadi tempat ia belajar. Karena itulah keberhasilan
out-come disebut keberhasilan afektif dan psikomotorik. Bagi lembaga pendidikan
“Madrasah”, kedua standar keberhasilan (output dan outcome) yang
mencakup tiga domain taxonomy of educational objectives, tidak dapat
dipisahkan. Di samping Madrasah mendidik kecerdasan, ia juga membina moral dan
akhlak siswanya. Itulah nilai plus madrasah dibandingkan sekolah umum yang
menekankan pembinaan kecerdasan intelek (aspek kognitif).
Dengan ciri
khas madrasah yang berbeda dengan pendidikan formal lainnya yang bawah
naungan Depdiknas, sesungguhnya membawa angin segar bagi perubahan di
berbagai aspek dan tidak justru minder dan takun untuk melakukan perubahan.
Sehingga tujuan didiraknnya madrasah sebagai penguatan nilai-nilai akhlak bagi
siswa dan penerapnnya di masyarakat dapat terealisasi dengan baik. setidaknya ada
beberapa agenda pembaharuan pendidikan madrasah ke depan, diantaranya:
- Kurikulum. Untuk memenuhi
tuntutan siswa dan masyarakat, perlu dilakukan pembaharuan kurikulum pada
tiga aspek penting, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Perencanaan kurikulum harus didahului dengan kegiatan kajian
kebutuhan (need assessment) secara akurat. Kajian kebutuhan
tersebut dikaitkan dengan tuntutan era global, utamnya pendidikan yang
berbasis pada kecakapan life skill. Pelaksanaan kurikulumnya
menggunakan pendekatan kecerdasan majemuk (multiple Intelegence)
dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning).
Sedangkan evaluasinya hendaknya menerapkan penilainnya menyeluruh terhadap
semua kompetensi siswa (authentic assessment)
- Manajemen Sarana Prasarana
Pendidikan. Untuk mendukung pelaksanaan kurikulum di atas, madrasah
hendaknya mengupayakan tersedianya sumber belajar dan media pendidikan
berbasis teknologi. Misalnya penggunaan literature digital dan berbagai
ilmu agama dan umum. Perlu diketahui bahwa saat ini, banyak kitab-kitab
dan hadis mu`tabar telah di CD- kan, sehingga memudahkan guru dan siswa
dam mempelajarinya. Di samping itu juga, perlu dikenalkan teknologi
informasi on-line, yaitu internet dimana saat ini menjadi sumber
rujukan bagi masyarakat.
- Menajemen Pembelajaran. Di era
demokaratisasi dan desentralisasi saat ini, maka proses pembelajaran sudah
seharusnya berpusat pada siswa, dimana siswa bukan lagi dianggap obyek,
melainkan subyek partisipasi pendidikan dan guru di posisi ini adalah
sebagai fasilitator dan pembimbing siswa, sehingga tentu proses ini harus
didukung dengan metode mengajar yang menciptakan iklim demokratis dan
harmonisasi siswa dengan guru. Percepatan
dan kompetitif siswa merupakan wujud dari pengelolaan pembelajaran, yaitu quantum
teaching dan learning.
Penutup
Melihat
gambaran umum, eksistensi madrasah dalam pendidikan nasional masih
dipertanyakan berbagai kalangan dengan berbagai problematikanya, tentu hal ini
tidak menjadikan pesimistis bagi civitas madrasah, melainkan menjadi stimulant
untuk melakukan upaya pembaharuan dalam manajemen pengelolaan pesantren, agar
tujuan pendidikan madrasah dan nasional tercapai dengan baik. Pembenahan harus
dilakukan diantaranya adalah leadership, manajemen kurikulum, pembelajaran, dan
sarana prasarana. Banyak konsep yang diatawarkan sebagai sebuah alternatif dan
tanpa harus menghilangkan cirri khas madrasah sebagai elan vital penguatan
nilai-nilai relegius yang muara akhirnaya adalah menciptakan pribadi muslim
yang intelektual dan survive untuk segala tantangan zaman. Akhirnya harapan
pembaharuan segera terwujud dan tentu saja partisipasi masyarakat sangat
dibutuhkan.
Komentar
Posting Komentar