HUKUM WANITA YANG SERING MENGGUGAT CERAI KEPADA SUAMI MENURUT IMAM AS-SYAFI'I DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM



 BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol, hukum adalah aspek terpenting  dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan,  Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarakat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.
Syara’ menurut ulama ushul adalah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah.
Syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah.[1]
Perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar “cerai”. Menurut istilah (syara’) perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan ikatan pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafadz yang sudah dipergunakan pada masa jahiliyah yang kemudian digunakan oleh syara’.
Syariat Islam memberikan jalan keluar bagi pasangan suami istri ketika mereka tidak lagi merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarganya. Baik dalam bentuk cerai yang itu berada di tangan suami atau gugat cerai (khulu’) sebagai jalan keluar bagi istri yang tidak memungkinkan lagi untuk tinggal bersama suami. Dan semuanya harus dilakukan dengan aturan yang telah ditetapkan syariat.
Dalam konteks pemutusan hubungan perkawinan, ada dua metode dan istilah yang dipakai dalam fiqih Islam yaitu cerai (talak), gugat cerai (fasakh). Cerai adalah pemutusan hubungan perkawinan yang dilakukan oleh suami sedangkan gugat cerai adalah permintaan pemutusan hubungan perkawinan yang dilakukan oleh istri.  
Perceraian adalah perkara halal yang paling dibenci oleh Allah. Perceraian dipilih ketika dibutuhkan saja, yaitu apabila mempertahankan pernikahan akan mengakibatkan mudharat yang lebih besar. Dan jika tidak sangat diperlukan maka perceraian menjadi makruh karena mengakibatkan bahaya yang tidak bisa ditutupi. Bagi wanita, meminta cerai adalah perbuatan sangat buruk. Dan Islam melarangnya dengan menyertakan ancaman bagi pelakunya, jika tanpa adanya alasan yang dibenarkan.
Dalam Islam sudah ditetapkan hukum tersendiri terhadap segala aspek permasalahan yang berlandaskan pada Al-Qur’an, Al-Hadist, Ijma’ dan Qias, jalan pemikiran atau pemahaman yang diikuti itu berbeda-beda. Sudah diketahui bahwa perbedaan pendapat dalam permasalahan sehari-hari dalam kehidupan ini tentang pernikahan dan ruanglingkupnya umumnya mengikuti jalur pemikiran Imam Al-Syafi’ yaitu salah satu dari mazhab empat.
Imam Al-Syafi’ Merupakan salah satu mazhab empat yang pemikirannya mudah dipahami oleh kalangan ummat. Dalam permasalahan ini peneliti akan mengkaji tentang gugatan cerai seorang wanita terhadap suami menurut paham Imam Al-Syafi’.
Kompilasi Hukum Islam merupakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 pasal) dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut. KHI disusun melalui jalan yang sangat panjang dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik terjadi di negeri ini dari masa ke masa.[2]
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat peneliti angkat judul proposal skripsi yaitu “Hukum Wanita Yang Menggugat Cerai Kepada Suami Menurut Imam Al-Syafi’ dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

B.       Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah :
1.      Bagaimanakah hukum wanita yang menggugat cerai terhadap suami menurut Imam Al-Al-Syafi’i dan KHI ?
2.      Apa landasan dan argument yang digunakan Imam Al-Al-Syafi’i dan KHI dalam maslah gugat cerai terhadap suami?
3.      Apa saja persyaratan bagi wanita yang menggugat cerai terhadap suami menurut Imam Al-Al-Syafi’i dan KHI ?

C.      Tujuan Penelitian
Berdasarkan Pertanyaan Penelitian diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian yaitu :
1.      Untuk menjelaskan hukum wanita yang menggugat cerai terhadap suami menurut pendapat Imam Al-Al-Syafi’i dan KHI.
2.      Untuk menjelaskan landasan dan argument yang digunakan Imam Al-Al-Syafi’i dan KHI dalam masalah gugat cerai terhadap suami.
3.      Untuk menjelaskan persyaratan apa saja bagi wanita yang menggugat cerai terhadap suami menurut pendapat Imam Al-Al-Syafi’i dan KHI.

D.      Mamfaat Penelitian
Adapun yang menjadi mamfaat penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu manfaat Teoritis dan manfaat Praktis.
1.      Manfaat Teoritis.
Adapun yang menjadi manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah untuk menambahkan wawasan, pembendaharaan dan ilmu pengetahuan tentang metode penelitian dan hukum bagi wanita yang menggugat cerai terhadap suami menurut Imam Al-Syafi’.
2.      Manfaat Praktis
Adapun yang menjadi manfaat praktis dalam penelitian ini adalah sebagai prasyarat untuk memperoleh strata satu (S1) dan memberikan kontribusi kepada masyarakat umum dan kepada suami istri khususnya.

E.       Definisi Operasional
Mengingat judul penelitian ini menimbulkan polemik atau penafsiran yang bermacam-macam, berikut peneliti mendefinisikan judul dengan variable judul :
1.      Hukum Wanita
Syariah islam berarti segala peraturan agama yang di tetapkan Allah untuk ummat Islam, baik dari Al-Qur’an maupun dari sunnah Rasulullah saw. yang berupa perkataan,perbuatan ataupun takrir (penetapan atau pengakuan). Pengertian tersebut meliputi ushuluddin (pokok-pokok agama), yang menerangkan tentang keyakinan kepada allah berserta sifat-sifatnya, hari akhirat dan sebagainya, yang semuanya dalam pembahasan ilmu tauhid atau ilmu kalam. Ia juga mencakup kegiatan-kegiatan manusia yang mengarah kepada pendidikan jiwa dan keluarga serta masyarakat. Demikian pula tentang jalan yang akan membawanya kepada kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Ini semuanya termasuk dalam pembahasan ilmu akhlak.[3]
Hukum Islam sebagai bagian agama islam melindunggi hak asasi manusia hal ini dapat di lihat pada tujuan hukum islam yang akan dibicarakan dibawah. Kalau hukum islam dibandingkan dengan pandangan atau pemikiran (hukum) barat (Eropa, terutama Amerika) tentang hak asasi manusia akan kelihatan perbedaannya. Perbedaan itu terjadi karena pemikiran (hukum) barat memandang hak asasi manusia semata-mata antroposentris artinya berpusat pada manusia. Dengan pemikiran itu manusia sangat dipentingkan. Sebaliknya, pandangan hukum islam yang bersifat teosentris. Artinya berpusat pada tuhan. Manusia adalah penting tetapi yang lebih utama adalah allah. Allahlah pusat segala sesuatu.

2.      Gugat Cerai
Perceraian berasal dari suku kata “cerai”.[4] Perceraian dalam istilah fikih disebut “talāq” atau “furqah”. Talak berarti membuka ikatan, membatalkan, perceraian. Sedang furqah berarti bercerai, lawan dari berkumpul. Kemudian kedua pernyataan itu dijadikan istilah oleh ahli fikih yang berarti perceraian antara suami isteri.[5]
Menurut istilah syara’, talak berarti melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri. Menurut istilah talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.[6]
Dasar hukum dari masal gugat cerai dalam Al-Qur’an dan Hadist. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman :
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ , فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya : Talak (yang dapat dirujuk) dua kali setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika sisuami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk menikah kembali, jika keduanya dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang mau mengetahui.

Adapun dalil Hadistnya adalah sebuah Hadist sahih yang mengisahkan tentang istri Tsabit Qais Bin Syammas bernama Jamilah Binti Ubay Bin Salil yang datang kepada Rasulullah dan meminta cerai karena tidak mencintai suaminya. Rasulullah lalu menceraikan dia dengan suaminya setelah sang istri mengembalikan mahar.[7]
Menurut hukum Islam, perceraian dapat dilakukan dengan beberapa cara tergantung dari pihak siapa yang menghendaki atau berinisiatif untuk memutuskan ikatan perkawinan (perceraian) tersebut. Dalam hal ini ada empat kemungkinan dalam perceraian:
a.       Perceraian atas kehendak suami dengan alasan tertentu dan kehendaknya itu dinyatakan dengan ucapan tertentu atau tulisan dan isyarat bagi yang tidak bisa berbicara. Termasuk dalam hal ini talak, ila’dan dhihar.
b.      Perceraian atas kehendak isteri dengan alasan isteri tidak sanggup melanjutkan perkawinan karena ada sesuatu yang dinilai negatif pada suaminya sementara suaminya tidak mau menceraikannya. Bentuk ini disebut sebagai khulu’.
c.       Perceraian melalui putusan hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pasa suami atau pada isteri yang menunjukkan hubungan perkawinan mereka tidak bisa dilanjutkn. Bentuk ini disebut sebagai fasakh.
d.      Perceraian (putusnya pernikahan) atas kehendak Allah swt, yaitu ketika salah satu dari pasangan suami dan isteri meninggal dunia.[8]
Undang-undang perkawinan yakni Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975, mengadakan klasifikasi perceraian sebagai berikut:
a.       Perceraian karena kematian.
b.      Perceraian yang berbentuk cerai-talak dan cerai-gugat.
c.       Perceraian karena keputusan pengadilan.[9]
Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang mengatur bahwa putusnya perkawinan dapat dikarenakan tiga alasan sebagai berikut: Kematian, Perceraian, Putusan Pengadilan.[10]
KHI juga menyatakan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak oleh suami atau gugatan perceraian oleh isteri. Selanjutnya menurut KHI menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (suami dan isteri).[11]

3.      Imam Al-Al-Syafi’i dan KHI
Imam Al-Syafi’i merupakan salah seorang ulama yang sangat masyhur. Setiap orang yang memperhatikannya akan tertarik untuk mengetahui lebih dalam pribadinya, perilakunya serta peninggalannya yang telah membuat orang yang memperhatikannya menghormati, memuliakan, dan mengagungkannya. Imam Al-Al-Syafi’i merupakan seorang tokoh Islam yang mempunyai nama yang cukup besar dalam menghulurkan sumbangan dan kemaslahatan (kebaikan) terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan kepada seluruh umat Islam. Ketinggian ilmunya melebihi pujian yang diucapkan kepadanya. Penguasaan ilmu pengetahuannya yang bersumberkan kepada rujukan al-Quranul karim dan Sunnah Nabi amat disegani oleh pihak kawan maupun lawan.
Kehebatan Imam Al-Al-Syafi’i amat menonjol dan tersohor sebagai seorang pelopor dan perumus pertama metodologi hukum Islam mengikut furuk (cabang) ilmu pengetahuan. Ushul fiqh (metodologi hukum Islam) ‘lahir’ setelah Imam Al-Al-Syafi’i menulis karya-karyanya yang begitu hebat dan amat menakjubkan dalam dunia keilmuan Islam dan Barat. Pada masa kini, Mazhab Al-Syafi’i telah diikuti, diamalkan dan dijadikan panduan serta pedoman oleh 28% umat Islam seluruh dunia. Malah, merupakan mazhab yang kedua terbesar pengikutnya setelah Mazhab Hanafi.
Imam Al-Al-Syafi’i dilahirkan pada bulan Rajab tahun 150 H (767 M).  Beliau dilahirkan di Guzzah wilayah Asqalan yang letaknya di dekat pantai Lautan Putih (Laut Mati) sebelah tengah Palestina (Syam) dan ibunya telah menamakan beliau dengan nama “Muhammad”, maka berselang beberapa hari kemudian sampailah berita dari Baghdad yang menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah telah wafat, dan telah dimakamkan di Rashafah, Baghdad sebelah Timur.
Riwayat yang lain menerangkan bahwa ketika itu oleh para family Imam Al-Syafi’i telah diadakan perhitungan bahwa hari wafatnya Imam Abu Hanifah itu adalah tepat dengan hari kelahiran beliau. Dengan riwayat ini, maka sebagian ahli tarikh mencatat bahwa hari lahir Imam Al-Syafi’i itu adalah bertepatan dengan hari wafat Imam Hanafi.[12]
Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris Abbas bin Utsman bin Al-Syafi’i bin Saib bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muththalib bin Abdu Manaf, yaitu kakek yang keempat dari Rasul dan kakek yang kesembilan dari Al-Syafi’i. Dengan ini jelaslah bahwa beliau ini adalah keturunan dari bangsa Arab Quraisy.[13]
Kompilasi Hukum Islam adalah seperangkat ketentuan hukum Islam yang senantiasa menjadi rujukan dasar bagi terciptanya masyarakat berkeadilan, yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, menghargai hak-hak kaum perempuan, meratanya nuansa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Semua ketentuan tersebut hendak digali dan dirumuskan dari sumber-sumber Islam yang otoritatif, al-Qur’ân dan al-Sunnah, melalui pengkajian terhadap kebutuhan, pengalaman, dan ketentuan-ketentuan yang hidup dalam masyarakat Indonesia, khazanah intelektual klasik Islam, dan pengalaman peradaban masyarakat Muslim dan Barat di belahan dunia yang lain. Kompilasi Hukum Islam terbentuk dengan cara menghimpun dan menseleksi berbagai pendapat fiqh mengenai persoalan kewarisan, perkawinan dan perwakafan dari kitab-kitab fiqh yang berjumlah 38 kitab.[14]
Dalam konteks sosiologis kompilasi yang bersubtansi hukum islam itu jelas merupakan produk keputusna politik. Instrument hukum politik yang digunakan adalah Inpres no.1 tahun 1991. Selain formulasi hukum Islam dalam tata hukum Indonesia, KHI bisa disebut sebagai representasi dari sebagian substansi hukum material Islam yang dilegislasikan oleh penguasa politik pada zaman orde baru.[15] Dengan demikian KHI mempunyai kedudukan yang penting dalam tata hukum Indonesia. Karena merupakan sebuah produk hukum dari proses politik orde baru. Karena itu selain bersifat nisbi, KHI dengan segala bentuknya, kecuali ruh hukum Islamnya, merupakan cerminan kehendak social para pembuatnya. Kehadiranya dengan demikian sejalan dengan motif-motif social, budaya dan politik tertentu dari pemberi legitimasi, dalam hal ini rezim politik orde baru. Perkembangan konfigurasi politik senantiasa mempengaruhi perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik tertentu senantiasa melahirkan produk hukum yang memiliki karakter tertentu. Konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsive/populistik, sedangkan konfigurasi politik otoriter senantiasa akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks.[16] Pengaruh politik hukum terhadap KHI akan menjadi karakter-karakter politik hukum Islam di Indonesia. Pengaruh tersebut akan membawa konsekuensi untuk memperbincangkan kembali diskursus hukum agama dan hukum Negara di dalam wadah Negara Pancasila. Keberadaan hukum islam harus diselaraskan dengan visi pembangunan hukum yang dicanangkan Negara. Disini lalu terjadi proses filterisasi terhadap materi hukum Islam oleh Negara. Dengan demikian, secara ideologis KHI berada pada titik tengah antara paradigm agama dan paradigma Negara. Dalam paradigm agama, hukum Islam wajib dilaksanakan oleh Umat Islam secara kaffah, tidak mengenal ruang dan waktu. Penerapannya dalam kehidupan social menjadi misi agama yang suci. Dengan kata lain bahwa hukum Islam berada dalam penguasaan hukum Negara dengan mempertimbangkan pluralitas agama, etnis, ras dan golongan. Hasil interaksi dari dua paradigma yang berbeda itu merupakan wujud nyata politik Negara terhadap hukum islam di Indonesia. Karena itu KHI merupakan satu-satunya hukum materiil Islam yang memperoleh legitimasi politik dan yuridis dari Negara.

F.       Kajian Terdahulu
Sejauh pencarian peneliti melalui digital dan manual baik melalui pustaka dan blog, peneliti tidak menemukan judul yang sama.


[1] Sarjanaku, (22 Juli 2013), https://studihukum.wordpress.com, Pengertian Hukum Islam, Diakses Pada (02 Maret 2015, 01:17).
[2] Wisely, (01-01-2014), http://tintapenaamhy.blogspot.com, Polemik Kompilasi Hukum Islam Di. Diakses Pada 15 Maret 2015.
[3] Ali, Mohammad Daud: Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1998., hal 235.

[4] WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 209

[5] Taqiyuddin Abi Bakr Bin Muhammad Al-Husainiy, Kifayah Al-Akhyar Fi Hilli Gayah Al-Ikhtisar, h. 84

[6] Syamsuddin Muhammad Bin Abi Al-Abbas Ahmad Bin Hamzah Ibn Syihab Ad-Din Al-Ramliy, Nihayah Al-Muhtaj Ila Syarh Al-Minhaj Fi Fiqh Ala Imam Al-Imam Asy’syafi’i, J-6, h. 428
[7] Hadits riwayat Bukhari No. 4973, riwayat Baihaqi dalam Sunan Al-Kubro No. 15237, Naim dalam Al-Mustakhraj No. 5275.

[8] Supriatna dkk, Fiqh Munakahat II, hlm. 17.
[9] Dzamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet. Ke-2, (Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 38.

[10] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, cet. Ke-2, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm. 152.

[11] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 114 dan 115.
[12] Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1996, hal.149.

[13] Ibid, hal.150
[14] Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzab Negara, Yogyakarta: LKIS, 2001, Hal 155

[15] Ibid. hal. 144

[16] Moh.Mahfud, MD, Perkembangan Politik Hukum, Yogyakarta, 1993, hal. 675-676.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peradaban Pemikiran Islam Pada Masa Dinasty Muawiyyah, guna untuk menyelesaikan program mata kuliah pada pasca sarjana IAIN Malikussaleh.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP